Sulastri 10 Tahun Kehilangan 15 Anggota Keluarga karena Tsunami
Masyarakat Nanggroe
 Aceh Darussalam (NAD) mungkin tidak akan pernah lupa kejadian 
sepuluh tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2004. Hari itu bumi Serambi 
Makkah luluh lantak oleh gempa yang disertai tsunami hebat. 
Sedikitnya
 173.741 orang tewas dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
 Tidak sedikit yang akhirnya harus hidup sebatang kara karena anggota 
keluarganya menjadi korban keganasan tsunami.
Nah,
 salah seorang yang kehilangan seluruh keluarganya itu adalah Sulastri. 
Selain suami dan tiga anak, Sulastri kehilangan orang tua, saudara, dan 
keponakan-keponakan yang total berjumlah 15 orang.  
Sulastri
 selamat dari maut karena saat itu bertugas sebagai dokter pendamping 
haji dari NAD. Dia pun hidup sebatang kara begitu pulang dari Tanah 
Suci. 
“Kejadian
 itu sangat menyedihkan. Saya kehilangan suami, anak-anak, serta 
keluarga saya,” ujar Sulastri ketika ditemui di Pusat Informasasi Haji 
(PIH) Kota Batam Minggu
(14/9). 
Awalnya
 Sulastri seperti sudah melupakan tragedi sepuluh tahun silam tersebut. 
Namun, begitu teringat suami dan anak-anaknya yang ikut menjadi korban, 
perempuan 45 tahun itu tak bisa menahan haru. Air matanya menetes. “Mereka orang-orang terkasih. Saya sangat kehilangan,” tuturnya.
Sulastri
 mengatakan, tidak ada firasat apa-apa menjelang dirinya berangkat ke 
Tanah Suci. Dia meninggalkan Aceh pada 20 Desember 2004, enam hari 
sebelum tsunami terjadi, dan pulang ke tanah air pada 30 Januari 2005. 
Sebulan lebih dia bertugas mendampingi para jamaah haji asal daerahnya.
Pada
 hari H tsunami, 26 Desember 2004, Sulastri masih sempat mengontak 
suaminya, Mukhtaruddin, setelah salat malam di Masjid Nabawi, Madinah. 
Saat itu di Madinah pukul 03.00, sedangkan di Aceh pukul 07.00, sekitar 
sejam sebelum gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang disertai 
gelombang besar terjadi.
Kontak
 melalui pesan pendek (SMS) itu masih dijawab Mukhtaruddin. ”Mas Tar 
(panggilan Mukhtaruddin) menceritakan bahwa pagi itu dia bersama tiga 
anak kami habis menjalankan salat Subuh bersama. Dia juga berpesan bahwa
 menjadi dokter pendamping haji harus ikhlas,” jelasnya. 
Ternyata
 SMS itu menjadi pesan terakhir Sulastri kepada suaminya. Sebab, pada 
pukul 07.58 gempa dan tsunami menerjang Aceh. Sejak itu Sulastri tak 
lagi bisa  mengontak suaminya.
Sulastri sudah waswas ketika melihat berita di TV Arab Saudi bersama jamaah asal Aceh. Mereka panik. “Mereka bilang ada gempa dan gelombang setinggi pohon kelapa di Aceh. Namun, berita itu tidak ada gambarnya di TV. Yang ditampilkan tsunami dan gempa di Thailand,” jelasnya.
Hari
 berikutnya, hati Sulastri tambah cemas. Untuk memastikan keadaan, 
perempuan yang gemar membaca itu pun menghubungi kakak kandungnya di 
Medan. Ketika dihubungi, saudara perempuannya tersebut mengabarkan bahwa
 orangtua mereka sudah tiada.
Lastri
 sempat kaget. Dia lalu menanyakan kabar suami dan tiga anaknya. Untuk 
menenangkan hati Sulastri, saudaranya itu mengatakan bahwa keluarganya 
sudah ditemukan. Namun, masih dirawat di rumah sakit.
”Suami saya katanya kepalanya luka sehingga harus dirawat di rumah sakit,” ujarnya.
Mendengar
 kabar tersebut, Sulastri agak tenang. Namun, pada hari-hari berikutnya,
 setiap kali menanyakan kondisi suami dan anak-anaknya, kakak Sulastri 
selalu menghibur bahwa kondisi mereka baik-baik saja.
Sampai akhirnya Sulastri pulang ke tanah air pada 30 Januari 2005.
“Ketika
 sampai di Asrama Haji Aceh, kakak pingsan ketika melihat saya. Saya 
juga diberi tahu bahwa suami saya sudah meninggal dan ketiga anak saya 
belum ditemukan,” terangnya.
Sulastri
 shock mendengar kabar itu. Dia lalu meminta keluarganya untuk 
mengantarkan ke rumahnya di Kajhu Indah, Banda Aceh. Tapi, yang dilihat 
adalah rumahnya sudah rata dengan tanah. Yang tersisa hanya bak kamar 
mandi yang airnya masih keluar dari keran.
“Saya
 langsung wudu dan salat dua rakaat di tempat itu. Saya doakan keluarga 
saya diterima di sisi Tuhan,” ujarnya. Air matanya kembali berlinang.
Seusai
 kejadian itu, hari-hari Sulastri seperti hampa. Dia selalu murung. Dia 
sempat ingin kembali ke Makkah. Dia berniat menyerahkan seluruh jiwa dan
 raganya kepada Tuhan. Sebab, dia sudah merasa di Aceh tidak mempunyai 
siapa-siapa lagi. Namun, langkah tersebut bisa dicegah oleh keluarganya.
“Saudara saya bilang jika ingin mengabdi ke Tuhan, tidak perlu ke Arab. Di kampung pun bisa,” tuturnya.
Untuk
 mengubur rasa sepi, Sulastri memutuskan untuk mengambil program 
pascasarjana di Universitas Sumatera Utara (USU). Dia masuk jurusan ilmu
 kesehatan anak fakultas kedokteran. Sulastri berniat untuk menyibukkan 
diri, melupakan semua yang pernah dialami.
Kisah
 nahas Sulastri tersebut pernah ditulis Jawa Pos edisi 1 Februari 2005. 
Ketika itu dia masih berjuang mencari anak-anaknya yang hilang karena 
terseret badai tsunami.
Bukan
 hanya kisahnya yang diceritakan, Jawa Pos juga melampirkan nomor 
handphone kakak Sulastri. Harapannya, kalau ada orang yang tahu 
keberadaan anak-anak Sulastri, nomor itu bisa dihubungi.
Alhasil,
 “pengumuman” di surat kabar tersebut membuat HP kakak Sulastri 
kebanjiran pesan pendek. Total ada 350 pesan singkat yang masuk. Banyak 
yang iba dengan nasib Sulastri. Namun, ada juga yang ingin meminangnya 
menjadi istri. Nah, berawal dari situlah hidup Sulastri berubah.
’Dari 350 SMS itu, ada 15 pesan yang ingin meminang saya menjadi istri mereka,” kenang Sulastri.
Orang
 yang bermaksud menikahi Sulastri berasal dari berbagai usia dan daerah.
 Mulai anak muda asal Gorontalo sampai lansia 65 tahun dari Jawa Tengah.
 Bahkan, saking ibanya, sang kakek sempat mengirim surat cinta kepada 
Sulastri.
”Bunyinya lucu. Dia menuliskan dengan bahasa Jawa. Dia bilang panjenengan (kamu) harus sabar menjalani hidup,” ujar Sulastri sambil tersenyum.
”Bunyinya lucu. Dia menuliskan dengan bahasa Jawa. Dia bilang panjenengan (kamu) harus sabar menjalani hidup,” ujar Sulastri sambil tersenyum.
Namun,
 pikiran Sulastri saat itu tidak sedang mencari jodoh. Dia tidak 
menghiraukan sama sekali SMS dari pria yang iba atas nasibnya tersebut. 
Dia takut orang yang mengirim SMS itu hanya main-main. Dia tidak 
membalas satu pun pesan tersebut,
 Meski
 begitu, ada satu orang yang tetap keukeuh. Namanya Syafri Salisman. Dia
 duda beranak tiga. Menurut Sulastri, hampir setiap hari Syafri selalu 
mengirim pesan ke dia.
Awalnya
 pesan singkat itu berisi motivasi dan semangat. Sulastri pun 
membalasnya. Merasa mendapatkan angin segar, Syafri terus 
mengintensifkan komunikasinya dengan Sulastri.
”Dia
 sering nanya sudah makan belum. Sudah salat belum. Ya, kayak pacaran 
gitu,” cerita perempuan yang kini tinggal bersama keluarga barunya di 
Jalan Sidorejo, Bukit Bestari, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, tersebut.
Tak
 hanya itu, Syafri juga berani menghadap kakak Sulastri bersama kedua 
orang tuanya. Dia ingin segera melamar Sulastri. Tapi, lamaran tidak 
langsung diterima. Sebab, Sulastri bersikukuh menunggu masa idahnya 
selesai.
Tepat
 setelah empat bulan sepuluh hari masa idah selesai, Syafri langsung 
mengajak Sulastri menikah. Tanpa penolakan, ajakan itu diterima 
Sulastri. Kepala Kesbangpolinmas (Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat) Provinsi Kepulauan Riau itu 
mempersunting Sulastri pada 5 Juni 2005. Sejak saat itu, Sulastri 
diboyong Syafri ke Pangkalpinang, Kepri.
Menurut
 Sulastri, banyak kesamaan antara almarhum suaminya dan Syafri. Keduanya
 dinilai sabar, taat pada agama, dan baik. Selain itu, pria berusia 56 
tahun tersebut mempunyai tiga anak. Sama dengan anak Sulastri yang 
meninggal gara-gara diterjang tsunami. ”Saya langsung iyakan. Ini 
merupakan jawaban dari doa saya pada Tuhan,” ujarnya.
Dari
 hasil pernikahannya dengan Syafri, Sulastri dikaruniai dua anak, Syifa 
Puan Nouri (8), dan Syamil Aulia Rahman (6). Ditambah tiga anak dari 
Syafri, total anak pasangan itu lima orang.
Sulastri mengatakan, sejauh ini rumah tangganya baik-baik. Tidak pernah sekali pun dia terlibat pertengkaran dengan Syafri. Anak-anak Syafri pun begitu menyayangi ibu barunya itu. ”Saya sudah dianggap seperti ibu kandungnya sendiri,” tuturnya.
Di
 Kepri (Kepulauan Riau), Sulastri tetap mengabdi pada urusan jamaah haji. Namun, dia tidak
 menjadi staf paramedis seperti di Aceh. Dia bertugas mengajarkan ESQ 
kepada calon jamaah haji. Menurut dia, ESQ sangat penting bagi calon 
jamaah haji.
“Agar ketika ada cobaan tidak down. Selalu ingat Tuhan,” paparnya.
Sementara
 itu, Syafri saat ditemui di PIH mengaku sangat berterima kasih karena 
dipertemukan dengan Sulastri oleh pemberitaan Jawa Pos, 1 Februari 2005.
Dia
 menyatakan, setelah membaca kisah Sulastri di Jawa Pos, dirinya merasa 
iba. Dia juga menilai Sulastri sebagai sosok perempuan tangguh.
”Saya terharu membaca kisah itu di Jawa Pos. Kasihan perempuan ini, pulang dari Tanah Suci jadi sebatang kara,” ujarnya.
Syafri
 lalu memberanikan diri untuk meminangnya. Kebetulan, saat itu dia sudah
 bercerai dari istrinya. Langkah tersebut juga mendapat persetujuan dari
 anak-anaknya. ”Malah anak-anak saya yang duluan menjodohkan saya dengan
 Sulastri,” tuturnya.
Kini Sulastri-Syafri sudah sembilan tahun menjalani biduk rumah tangga. Mereka berharap rumah tangganya bisa langgeng sampai akhir hayat.
Itulah artikel tentang “Bangkit Begitu Bertemu Duda Beranak Tiga.” Semoga bermanfaat dan terimakasih.

0 komentar:
Posting Komentar