Tiga purnama lancang dibina
Bersyarat pula saat hendak diturunkan
Perempuan hamil jolong sebagai syaratnya
Siti Laut sanggup jadi taruhan
Alkisah kerajaan bermula
Galang Lancang jadi taruhan
Menyusuri pantai sampai dikuala
Berpuak berkawan satukan jiwa
Kami mencoba mengungkapkan
Dari cerita seorang yang dapat dipercaya
Memang banyak yang meragukan
Antara percaya dan tidak percaya
Nama diberi Kerajaan Sri Bunga Tanjung
Bertahta pula dihulu sungai Dumai
Rajanya Bakhrum Alam Syah jadi tersanjung
Karena negerinya makmur, aman, dan damai
Disebuah negeri kecil bernama “Durian Betakuk Raja”
dekat Muara Takus (Sekarang termasuk kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten
Kampar), tersebutlah sebuah kerajaan kecil yang disebut-sebut punya hubungan
yang erat dengan munculnya Kerajaan Sri Bunga Tanjung dihulu sungai
Dumai.
Alkisah raja kerajaan Muara Takus berniat membuat
perahu atau lancang dengan mengerahkan seluruh rakyat mempersiapkannya, tiga
purnama lamanya lancang itu dibuat tetapi pada waktu akan diturunkan dari
galangannya, selama tiga hari tidak dapat dilaksanakan,seluruh kekuatan rakyat
dikerahkan untuk menurunkan lancang ini, akan tetapi tidak ada tanda-tanda
lancang bergerak dari galangannya, orang-orang yang bekerja menurunkan lancang
inipun memberitahukan kepada raja akan kejadian ini, rasa gundah sang raja
melihat kejadian ini bertanya-tanya didalam hati ada apa sebanarnya gerangan
dengan lancang ini sehingga tidak dapat diturunkan, kemudian perdana menteri
memberikan usul kepada raja, “Paduka raja, mohon maaf beribu maaf jika hamba
boleh mengajukan usul, bagaimana kalau kita panggil ahli nujum pandai untuk
membantu kita?” sang raja mengangguk seraya berkata, ”Hai perdana menteri,
usulanmu cukup bagus dan dapat diterima, maka kuperintahkan engkau mengumpulkan
para ahli nujum dinegeri kita ini!”
Dengan titah ini, perdana menteri mengumumkan
keseluruh negeri di Muara Takus, agar para ahli nujum berkumpul dibalai atas
titah baginda raja, satu persatu ahli nujum berdatangan sebanyak Sembilan orang
berkumpul dibalai, segala perlengkapan upacara yang diminta oleh para ahli
nujum dipersiapkan, antara lain, mangkuk berbara api (dupa), beras kunyit,
beras basuh, bereteh, dan ternang sebanyak sembilan buah. Upacara dimulai
dengan diawali oleh masing-masing ahli nujum melempar beras basuh kedalam
ternang, setelah itu satu persatu ahli nujum memberitahukan kepada raja bahwa
lancang itu dapat diturunkan dengan syarat digalangi orang yang hamil jolong
(hamil untuk pertama kali), begitulah pendapat sembilan ahli nujum itu,walaupun
syarat itu sangat berat namun sang raja mengumumkan juga kepada semua orang
dikerajaannya, “Bahwa siapa saja yang mau menjadi galang Lancang Kuning
tersebut, maka raja akan memberikan Lancang Kuning tersebut kepada orang
yang sanggup menjadi galang itu.”
Berselang beberapa hari kemudian, bermimpilah anak
pemangku adat kerajaan ini yang bernama Siti Laut, saat itu ia sedang hamil
tujuh bulan anak pertamanya bersama suaminya Bakhrum Alam Syah atau lebih
dikenal dengan nama Lembang Jagal, dalam mimpinya ia didatangi oleh orang tua
dengan pesan, “Hai Siti Laut, jadilah engkau sebagai galang Lancang
Kuning itu, caranya suruh orang menggali tanah dibawah lancang, buatlah parit
untuk kamu berbaring, setelah kamu berbaring perintahkan orang menolak lancang
tersebut, Insya Allah lancang tersebut akan meluncur ke air, dengan syarat jika
lancang sudah jatuh ke air, diserahkan lancang ini oleh raja kepadamu, kamu
harus pergi bersama lancang tersebut meninggalkan negeri ini, pergilah kamu
merantau ketempat lain, jangan tidak engkau lakukan, jika tidak engkau akan
menyesal nanti.” Demikianlah mimpinya berturut-turut sampai tiga malam.
Setelah tiga malam mimpinya berulang-ulang akhirnya
diceritakannya kepada suaminya, “Kakanda, tiga malamaku bermimpi
berturut-turut, agar akau menjadi galang lancang yang sedang bermasalah
dinegeri kita ini, bagaimana pendapat kakanda?” Setelah secara rinci mimpi itu
diceritakan kepada suaminya Lembang Jagal dan suaminya menyatakan, “Jika benar
engkau bermimpi demkian, terserah engkaulah”, Siti Laut bersama suaminya
menghadap raja dan memberitahukan perihal mimpinya yang diterima selama tiga
malam berturut-turut.
Keesokan harinya raja mengumpulkan seluruh rakyat
negerinya dibalai pertemuan, dan mengumumkan perihal mimipi yang dialami anak
pemangku adat negeri ini yaitu Siti Laut, bahwa beliau bermimpi untuk menjadi
galang lancang kuning yang bermasalah itu, dalam mimipinya Siti Laut didatangi
orang tua yang memintanya menjadi galang, untuk itu raja memerintahkan perdana
menteri agar menyuruh orang agar menggali parit dibawah lancang itu untuk
tempat berbaring Siti Laut, kemudian raja pun berjanji jika lancang ini dapat
diluncurkan dari galangannya ke air dan yang menjadi galangnya Siti Laut, maka
lancang ini pun akan menjadi milik Siti Laut, setelah persiapan untuk
meluncurkan lancang dipersiapkan, maka upacara penurunan lancangpun dimulai dan
disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Muara Takus.
Dilain pihak, sebelum upacara menurunkan lancang itu
dimulai, Siti Laut bermufakat dengan suaminya, Setelah kita turun nanti bersama
lancang, kita tidak boleh pulang kerumah lagi, jika kita keluar dari rumah ini,
kita harus menyiapkan perbekalan makan beserta perlengkapan lainnya.”
Demikianlah kesepakatan kedua suami istri itu, berkat keyakinan yang luar biasa
dari sang istri tercinta. Ternyata memang benar lancang yang digalangi Siti
Laut setelah mendapat komando darinya, “Ayo doronglah lancang ini.” Seketika para
petugas segera mendorong lancang ke air dengan mudahnya tanpa aral melintang,
dan berdirilah Siti Laut dari parit pembaringannya seraya memandang suaminya,
diawali oleh suaminya dan Siti Laut mereka memasuki lancang diikuti oleh
beberapa adiknya Siti Laut diantaranya Siti Zaleha, Siti Petah, Ahmad, dan Ali
Iqbal dan beberapa kerabat dekat sebagai awak lancang.
Pelayaran menyusuri lautan pun dimulai dan ia lalui
berhari-hari dengan suatu maksud sampailah disuatu tempat impian, karena awak
lancang merasa keletihan karena sejak berangkat tidak beristirahat maka ia
putuskan untuk beristirahat dikuala sungai Siak, disini romongan Siti Laut
beristirahat selama dua hari, kemudian dilanjutkan pelayaran dengan membentang
layar dari arah timur laut menuju barat dan akhirnya sampailah disuatu
perkampungan bernama Teluk Binjai, dan kemudian rombongan ini menetap
disini selama tiga tahun, disini mereka berladang dan tinggal, akan tetapi
karena dikampung ini kurang sesuai untuk berladang, kemudian mereka memutuskan
untuk berpindah kesungai Dumai tepatnya dikampung Lubuk Kuali (Sekarang kampung
Lubuk kuali diperkirakan antara jalan Benteng Pangkalan Sesai dengan Masjid
Baiturrahman sungai Dumai), di Lubuk Kuali ia tinggal bersama rombongannya
selama dua tahun, kemudian akhirnya berpindah ke hulu sungai Dumai sampai akhir
hayatnya. Kepindahannya kehulu sungai Dumai juga diikuti oleh kepindahan
saudara-saudaranya ketempat lain diantaranya, Siti Zaleha pindah ke Pangkalan
Sesai, Siti Petah pindah ke Batu Panjang Pulau Rupat, Ahmad pindah ke Pulau
Payung, dan Ali Iqbal pindah ke Tanjung Penyembal. Kepindahan saudaranya ini
setelah sekian lama bersama dalam satu rombongan bukanlah berpisah tanpa
hubungan yang dekat, diantara mereka tetap saling mengunjungi, keempat
bersaudara ini nantinya disebut “Empat Pencipta Sakti” di Dumai.
Kepindahan Siti Laut dan suaminya Lembang Jagal dan
anak-anaknya ke hulu sungai Dumai tepatnya dikampung Bunga Tanjung diikuti pula
oleh para pengikut setianya diantaranya para awak lancang yang membawanya dulu,
suaminya membuka kampung ini menjadi kampung maju dan berpengaruh, iapun
dijadikan tempat bertanya bagi orang kampung, banyak persoalan kemasyarakatan
ia selesaikan dengan bijaksana, akhirnya Lembang Jagal dinobatkan oleh
masyarakat Dumai pada waktu itu teutama masyarakat Pangkalan Sesai dan Teluk
Pauh menjadi raja kecil dikampung Bunga Tanjung. Kemudian setelah penobatan
itu, kampung Bunga Tanjung diubah menjadi Kerajaan Sri BungaTanjung. Jika
dituntut asal mula Lembang Jagal dari kampung halamannya Durian Bertakuk Raja
di Muara Takus, ia juga sebenarnya seorang keturunan raja.
Suatu ketika Siti Laut berpesan kepada suami dan
anak-anaknya dan para dayang-dayang atau pengasuh para putrinya, jika ia wafat
nanti agar dimakamkan ditanahnya di Lubuk Kuali, amanah ini akhirnya
dilaksanakan oleh suaminya setelah ia wafat, maka dimakamkanlah jenazah
istrinya di Lubuk Kuali, dan untuk memberi…………………………………………………… dan
kita kenal sebagai Kayu Cengal (tempat ini sekarang dibangun keramat oleh orang
keturunan Cina dan Bantan Bengkalis dan diberi nama Puteri Cengal) tepatnya
diujung jalan Cengal Sakti kelurahan Pangkalan Sesai.
Putri-putri dari Siti Laut dan Lembang Jagal yang
sulung adalah Putri Lindung Bulan yang diasuh oleh seorang pengasuh atau dayang
bernama Putri Awan Panjang, kedua bernama Putri Mayang Mengurai diasuh oleh
seorang dayang bernama Putri Awan Senja, dan yang bungsu bernama Putri
Ketimbung Raya diasuh oleh dua orang dayang bernama Putri Perdah Patah dan
Putri Mustika Kencana. Tiga putri dari Siti Laut dan Lembang Jagal serta
keempat pengasuh atau dayang inilah yang akhirnya disebut sebagai Puteri
Tujuh.
Kesimpulan
Kisah ini menggambarkan kesetiaan dan demokrasinya
suami istri yang rela mengarungi suka duka kehidupan, bak kata orang tua-tua
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian.” Itulah gambaran suami istri Siti Laut dan Lembang
Jagal.
Rasa setia kawan dan persaudaraan ditunjukkan pula
dalam perjalanan pelayaranr ombongan Siti Laut dari negeri asalnya hingga
sampai ke Dumai, ditambah sikap bertindak bijaksana sang suami dalam segala
keputusannya, inilah kiranya dapat dijadikan pelajaran dan renungan kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar