Nak cari ape..??

Rabu, 28 Oktober 2015

Kisah Asal Mula Kerajaan Sri Bunga Tanjung (Cerita Rakyat Kota Dumai, Riau)


Tiga purnama lancang dibina
Bersyarat pula saat hendak diturunkan
Perempuan hamil jolong sebagai syaratnya
Siti Laut sanggup jadi taruhan

Alkisah kerajaan bermula
Galang Lancang jadi taruhan
Menyusuri pantai sampai dikuala
Berpuak berkawan satukan jiwa

Kami mencoba mengungkapkan
Dari cerita seorang yang dapat dipercaya
Memang banyak yang meragukan
Antara percaya dan tidak percaya

Nama diberi Kerajaan Sri Bunga Tanjung
Bertahta pula dihulu sungai Dumai
Rajanya Bakhrum Alam Syah jadi tersanjung
Karena negerinya makmur, aman, dan damai

Disebuah negeri kecil bernama “Durian Betakuk Raja” dekat Muara Takus (Sekarang termasuk kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar), tersebutlah sebuah kerajaan kecil yang disebut-sebut punya hubungan yang erat dengan munculnya Kerajaan Sri Bunga Tanjung dihulu  sungai Dumai.

Alkisah raja kerajaan Muara Takus berniat membuat perahu atau lancang dengan mengerahkan seluruh rakyat mempersiapkannya, tiga purnama lamanya lancang itu dibuat tetapi pada waktu akan diturunkan dari galangannya, selama tiga hari tidak dapat dilaksanakan,seluruh kekuatan rakyat dikerahkan untuk menurunkan lancang ini, akan tetapi tidak ada tanda-tanda lancang bergerak dari galangannya, orang-orang yang bekerja menurunkan lancang inipun memberitahukan kepada raja akan kejadian ini, rasa gundah sang raja melihat kejadian ini bertanya-tanya didalam hati ada apa sebanarnya gerangan dengan lancang ini sehingga tidak dapat diturunkan, kemudian perdana menteri memberikan usul kepada raja, “Paduka raja, mohon maaf beribu maaf jika hamba boleh mengajukan usul, bagaimana kalau kita panggil ahli nujum pandai untuk membantu kita?” sang raja mengangguk seraya berkata, ”Hai perdana menteri, usulanmu cukup bagus dan dapat diterima, maka kuperintahkan engkau mengumpulkan para ahli nujum dinegeri kita ini!”

Dengan titah ini, perdana menteri mengumumkan keseluruh negeri di Muara Takus, agar para ahli nujum berkumpul dibalai atas titah baginda raja, satu persatu ahli nujum berdatangan sebanyak Sembilan orang berkumpul dibalai, segala perlengkapan upacara yang diminta oleh para ahli nujum dipersiapkan, antara lain, mangkuk berbara api (dupa), beras kunyit, beras basuh, bereteh, dan ternang sebanyak sembilan buah. Upacara dimulai dengan diawali oleh masing-masing ahli nujum melempar beras basuh kedalam ternang, setelah itu satu persatu ahli nujum memberitahukan kepada raja bahwa lancang itu dapat diturunkan dengan syarat digalangi orang yang hamil jolong (hamil untuk pertama kali), begitulah pendapat sembilan ahli nujum itu,walaupun syarat itu sangat berat namun sang raja mengumumkan juga kepada semua orang dikerajaannya, “Bahwa siapa saja yang mau menjadi galang Lancang Kuning tersebut, maka raja akan memberikan Lancang Kuning  tersebut kepada orang yang sanggup menjadi galang itu.”

Berselang beberapa hari kemudian, bermimpilah anak pemangku adat kerajaan ini yang bernama Siti Laut, saat itu ia sedang hamil tujuh bulan anak pertamanya bersama suaminya Bakhrum Alam Syah atau lebih dikenal dengan nama Lembang Jagal, dalam mimpinya ia didatangi oleh orang tua dengan pesan, “Hai Siti Laut, jadilah engkau sebagai galang  Lancang Kuning itu, caranya suruh orang menggali tanah dibawah lancang, buatlah parit untuk kamu berbaring, setelah kamu berbaring perintahkan orang menolak lancang tersebut, Insya Allah lancang tersebut akan meluncur ke air, dengan syarat jika lancang sudah jatuh ke air, diserahkan lancang ini oleh raja kepadamu, kamu harus pergi bersama lancang tersebut meninggalkan negeri ini, pergilah kamu merantau ketempat lain, jangan tidak engkau lakukan, jika tidak engkau akan menyesal nanti.” Demikianlah mimpinya berturut-turut sampai tiga malam.

Setelah tiga malam mimpinya berulang-ulang akhirnya diceritakannya kepada suaminya, “Kakanda, tiga malamaku bermimpi berturut-turut, agar akau menjadi galang lancang yang sedang bermasalah dinegeri kita ini, bagaimana pendapat kakanda?” Setelah secara rinci mimpi itu diceritakan kepada suaminya Lembang Jagal dan suaminya menyatakan, “Jika benar engkau bermimpi demkian, terserah engkaulah”, Siti Laut bersama suaminya menghadap raja dan memberitahukan perihal mimpinya yang diterima selama tiga malam berturut-turut.
Keesokan harinya raja mengumpulkan seluruh rakyat negerinya dibalai pertemuan, dan mengumumkan perihal mimipi yang dialami anak pemangku adat negeri ini yaitu Siti Laut, bahwa beliau bermimpi untuk menjadi galang lancang kuning yang bermasalah itu, dalam mimipinya Siti Laut didatangi orang tua yang memintanya menjadi galang, untuk itu raja memerintahkan perdana menteri agar menyuruh orang agar menggali parit dibawah lancang itu untuk tempat berbaring Siti Laut, kemudian raja pun berjanji jika lancang ini dapat diluncurkan dari galangannya ke air dan yang menjadi galangnya Siti Laut, maka lancang ini pun akan menjadi milik Siti Laut, setelah persiapan untuk meluncurkan lancang dipersiapkan, maka upacara penurunan lancangpun dimulai dan disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Muara Takus.

Dilain pihak, sebelum upacara menurunkan lancang itu dimulai, Siti Laut bermufakat dengan suaminya, Setelah kita turun nanti bersama lancang, kita tidak boleh pulang kerumah lagi, jika kita keluar dari rumah ini, kita harus menyiapkan perbekalan makan beserta perlengkapan lainnya.” Demikianlah kesepakatan kedua suami istri itu, berkat keyakinan yang luar biasa dari sang istri tercinta. Ternyata memang benar lancang yang digalangi Siti Laut setelah mendapat komando darinya, “Ayo doronglah lancang ini.” Seketika para petugas segera mendorong lancang ke air dengan mudahnya tanpa aral melintang, dan berdirilah Siti Laut dari parit pembaringannya seraya memandang suaminya, diawali oleh suaminya dan Siti Laut mereka memasuki lancang diikuti oleh beberapa adiknya Siti Laut diantaranya Siti Zaleha, Siti Petah, Ahmad, dan Ali Iqbal dan beberapa kerabat dekat sebagai awak lancang.

Pelayaran menyusuri lautan pun dimulai dan ia lalui berhari-hari dengan suatu maksud sampailah disuatu tempat impian, karena awak lancang merasa keletihan karena sejak berangkat tidak beristirahat maka ia putuskan untuk beristirahat dikuala sungai Siak, disini romongan Siti Laut beristirahat selama dua hari, kemudian dilanjutkan pelayaran dengan membentang layar dari arah timur laut menuju barat dan akhirnya sampailah disuatu perkampungan bernama Teluk Binjai, dan kemudian  rombongan ini menetap disini selama tiga tahun, disini mereka berladang dan tinggal, akan tetapi karena dikampung ini kurang sesuai untuk berladang, kemudian mereka memutuskan untuk berpindah kesungai Dumai tepatnya dikampung Lubuk Kuali (Sekarang kampung Lubuk kuali diperkirakan antara jalan Benteng Pangkalan Sesai dengan Masjid Baiturrahman sungai Dumai), di Lubuk Kuali ia tinggal bersama rombongannya selama dua tahun, kemudian akhirnya berpindah ke hulu sungai Dumai sampai akhir hayatnya. Kepindahannya kehulu sungai Dumai juga diikuti oleh kepindahan saudara-saudaranya ketempat lain diantaranya, Siti Zaleha pindah ke Pangkalan Sesai, Siti Petah pindah ke Batu Panjang Pulau Rupat, Ahmad pindah ke Pulau Payung, dan Ali Iqbal pindah ke Tanjung Penyembal. Kepindahan saudaranya ini setelah sekian lama bersama dalam satu rombongan bukanlah berpisah tanpa hubungan yang dekat, diantara mereka tetap saling mengunjungi, keempat bersaudara ini nantinya disebut “Empat Pencipta Sakti” di Dumai.

Kepindahan Siti Laut dan suaminya Lembang Jagal dan anak-anaknya ke hulu sungai Dumai tepatnya dikampung Bunga Tanjung diikuti pula oleh para pengikut setianya diantaranya para awak lancang yang membawanya dulu, suaminya membuka kampung ini menjadi kampung maju dan berpengaruh, iapun dijadikan tempat bertanya bagi orang kampung, banyak persoalan kemasyarakatan ia selesaikan dengan bijaksana, akhirnya Lembang Jagal dinobatkan oleh masyarakat Dumai pada waktu itu teutama masyarakat Pangkalan Sesai dan Teluk Pauh menjadi raja kecil dikampung Bunga Tanjung. Kemudian setelah penobatan itu, kampung Bunga Tanjung diubah menjadi Kerajaan Sri BungaTanjung. Jika dituntut asal mula Lembang Jagal dari kampung halamannya Durian Bertakuk Raja di Muara Takus, ia juga sebenarnya seorang keturunan raja.

Suatu ketika Siti Laut berpesan kepada suami dan anak-anaknya dan para dayang-dayang atau pengasuh para putrinya, jika ia wafat nanti agar dimakamkan ditanahnya di Lubuk Kuali, amanah ini akhirnya dilaksanakan oleh suaminya setelah ia wafat, maka dimakamkanlah jenazah istrinya di Lubuk Kuali, dan untuk memberi…………………………………………………… dan kita kenal sebagai Kayu Cengal (tempat ini sekarang dibangun keramat oleh orang keturunan Cina dan Bantan Bengkalis dan diberi nama Puteri Cengal) tepatnya diujung jalan Cengal Sakti kelurahan Pangkalan Sesai.

Putri-putri dari Siti Laut dan Lembang Jagal yang sulung adalah Putri Lindung Bulan yang diasuh oleh seorang pengasuh atau dayang bernama Putri Awan Panjang, kedua bernama Putri Mayang Mengurai diasuh oleh seorang dayang bernama Putri Awan Senja, dan yang bungsu bernama Putri Ketimbung Raya diasuh oleh dua orang dayang bernama Putri Perdah Patah dan Putri Mustika Kencana. Tiga putri dari Siti Laut dan Lembang Jagal serta keempat pengasuh atau dayang inilah yang akhirnya disebut sebagai Puteri Tujuh.

Kesimpulan
Kisah ini menggambarkan kesetiaan dan demokrasinya suami istri yang rela mengarungi suka duka kehidupan, bak kata orang tua-tua “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Itulah gambaran suami istri Siti Laut dan Lembang Jagal.

Rasa setia kawan dan persaudaraan ditunjukkan pula dalam perjalanan pelayaranr ombongan Siti Laut dari negeri asalnya hingga sampai ke Dumai, ditambah sikap bertindak bijaksana sang suami dalam segala keputusannya, inilah kiranya dapat dijadikan pelajaran dan renungan kita semua.

0 komentar:

Pos Populer

Diberdayakan oleh Blogger.