Nak cari ape..??

Rabu, 28 Oktober 2015

Pertempuran di Sungai Dumai (Cerita Rakyat Kota Dumai, Riau)


Tersebut kisah keramat yang empat
Mencipta sakti diselat Rupat
Diserang Aceh tidaklah sempat
Rajanya ditikam sibuah bungkat

Benteng dibuat dari tanah liat
Untuk menghalang musuh yang tangguh dan gagah
Memang keRajaan Sri Bunga Tanjung amatlah kuat
Bertempur dan berbunuh mempertahankan marwah

Untuk perlindungan dan keamanan puteri terkaseh
Harap supaya aman tidak berbekas
Sebagai buah sumpah sang Raja Aceh
Wafat dan dimakamkan di Tanjung Palas

Alkisah tersebutlah sorang Puteri Hijau atau disebut juga dengan Enci Sinia, yang terkenal dengan paras wajahnya yang cantik rupawan, sehingga banyaklah orang yang menaruh hati kepadanya, ada yang berpendapat bahwa ia sebenarnya berasal dari Aceh tetapi ia telah lama tinggal di Deli Lama atau Deli Tua, Sumatera Utara. Puteri Hijau mempunyai dua orang saudara kembar yang bernama Lela dan Berhala,. Karena keadaannya yang tidak memungkinkan, Lela dan Berhala diasuh oleh pamannya yang bernama Bakhrum Alam Syah atau yang dikenal dengan Lembang Jagal seorang Raja di Kerajaan Sri Bunga Tanjung yang bertahta dihulu sungai Dumai. Sementara Puteri Hijau atau Enci Sinia tinggal bersama ayahnya di Deli Lama. Pada waktu orangtuanya masih hidup,  banyaklah pinangan ditujukan kepadanya. Akan tetapi karena orangtuanya sangat berpengaruh walaupun pinangannya ia tolak, tak seorangpun berani berbuat apa-apa atas keputusan penolakan orangtuanya. Akan tetapi sangat berbeda keadaannya bila orangtuanya telah wafat, banyak pinangan yang ditujukan kepadanya, karena sang puteri tidak berkenan dan menolaknya tiada lagi yang dapat dijadikan tempat berlindung bila ada yang murka atas penolakan pinangannya.

Datanglah suatu ketika utusan pinangan kepadanya dari Raja Aceh yang akan mempersunting sang puteri, akan tetapi lagi-lagi sang puteri belum berkenan menerima pinangan itu, akan tetapi timbul pula kekhawatiran sang puteri atas pernyataannya, sehingga menimbulkan permusuhan dengan Raja yang meminangnya, maka ia memutuskan untuk meninggalkan negeri Deli Lama menuju suatu tempat yang aman untuk menghilangkan jejak dari Raja Aceh, sampailah ia disuatu kampung bernama “Pematang Pekaitan” dekat Bagan Siapi-api sekarang. Untuk sekian lama ia tinggal disana dan hilanglah jejak sang puteri dari Raja Aceh yang meminangnya.

Suatu ketika terdengar pula kabar sang puteri bahwa ia mendengar pamannya Bakhrum Alam Syah atau lebih dikenal dengan sebutan Lembang Jagal dan adik-adiknya Lela dan Berhala tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya yaitu Kerajaan Sri Bunga Tanjung dihulu sungai Dumai.

Kerinduannya dengan adik-adiknya tiada dapat tertahan lagi dan akan berusaha segera menemui adik-adiknya yang telah sekian lama tidak bersua. Dengan tiada banyak kesulitan dengan berperahu akhirnya sang puteri sampai di Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan disambut gembira oleh pamannya Bakhrum Alam Syah dan adik-adiknya, ia tinggaldi Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan sang putri lebih dikenal dengan panggilan Enci Sinia atau Cik Sima. Dikerajaan, Cik Sima lebih berperan sebagai orang dalam kerajaan atau kerabat dekat, karena kecantikan dan kesaktiannya ia sangat berpengaruh dilingkungan kerajaan itu, terhadap sepupunya atau anak-anak pamannya serta dayang-dayangnya, Cik Sima sangat disegani. Perlakuan sang paman terhadap Cik Sima pun tidak berbeda pula dengan perlakuan terhadap anak-anaknya sendiri.

Banyak juga persoalan-persoalan atau masalah yang berhubungan dengan  perempuan Kerajaan Sri Bunga Tanjung penyelesaiannya dibantu oleh Cik Sima. Sampai-sampai karena kelebihannya. Cik Sima disebut oleh orang istana dengan sebutan Ratu Cik Sima. Walaupun sebenarnya ia adalah hanya seorang kemenakan dari Bakhrum Alam Syah Raja Kerajaan Sri Bunga Tanjung. Demikianlah kemasyhuran Cik Sima sehingga terkenal diserata negeri Sri  Bunga Tanjung dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Kemasyhuran Cik Sima sampai pula beritanya kepada Raja Aceh yang pernah meminangnya dulu,untuk memastikan apakah Cik Sima itu merupakan puteri Hijau yang pernah ia lamar, maka Raja Aceh mengirimkan mata-mata ke Kerajaan Sri Bunga Tanjung, setelah mendapat kepastian bahwa Cik Sima memang benar idaman hatinya yang pernah ia lamar dulu, maka Raja Aceh itupun kembali mengirimkan utusan ke Kerajaan Sri Bunga Tanjung untuk meminang Cik Sima. Utusan Raja Aceh menyampaikan kepada paman Cik Sima dengan untaian pantun sebagai berikut.

Bukan kacang sembarang kacang
Kacang melilit dipohon pinang
Bukan datang sembarang datang
Datang saya hendak meminang

Pohon cempedak daunnya hijau
Padi disawah dimakan rusa
Kami meminang Puteri Hijau
Jika ditolak badan binasa

Pantun utusan Raja Aceh ini dibalas oleh paman Cik Sima atau Raja Sri Bunga Tanjung sebagai berikut.
Bukan salak dari Jambi
Salak dari Indragiri
Bukan salah dari kami
Salah dari tuan sendiri

Sudah tahu periya itu pahit
Jangan digulai dengan cempedak
Sudah tahu jadi tak baik
Pinangan anda akan ditolak

Saya tak bisa bertanam padi
Hanya bisa bertanam nipah
Sayat ak bisa mengaku jadi
Saya bisa hanya berserah

Nipah tumbuh ditepi sempadan
Pohon rumbia buahnya redan
Saya berserah kepada tuan
Tanya sendiri yang punya badan

Setelah mendengar jawaban paman dari Cik Sima dan menolak pinangan itu, maka utusan Raja Aceh pun kembali menyampaikan kepada Rajanya, dan Raja Aceh pun langsung datang  menemui Puteri hijau, dan bertanya langsung kepadanya, “Hai Puteri Hijau, seandainya aku mempersuntingkan kamu, apakah kamu setuju? Jika kamu tidak setuju, berilah alasan yang tertentu." Puteri Hijau langsung menjawab dengan pantun sebagai berikut.

Kalau tuan pergi ke Jambi
Burung bubut terbang pergi
Kalau tuan hendakkan kami
Buanglah parut yang ada dipipi

Hendak majon kuberi majon
Majon ada sudah terletak
Hendak pantun kuberi pantun
Pinangan tuan tertap ditolak

Tanam pandan dikaki bukit
Buah rambutan dari hulu
Rusak badan kena penyakit
Rusaknya bangsa karena tak malu

Kalau tau periya itu pahit
Kenapa digulai dengan kelapa
Sudah tau jadi tak baik
Kenapa dimulai dari semula

Dari dahulu orang bercakap
Kenapa digulung permadani
Dari dulu saya bercakap
Jangan dicari kami kemari

Raja Aceh pun membalas pantun Cik Sima atau Puteri Hijau sebagai berikut.
Tanam pinang rapat-rapat
Dalam buluh puyuh berlari
Hendak dipinang tidak dapat
Hancur luluh hati kami

Sampan kotak perahu Cina
Patah pasak di Kuala Deli
Saya pergi tak akan lama
Sampai waktunya saya kesini

Setelah mendengar ancaman Raja Aceh ini, Cik Sima memberitahukan kepada pamannya bahwa ia beketetapan hati untuk tetap menolak pinagan itu dan ia berniat meninggalkan Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan meminta kedua adiknya Lela dan Berhala untuk memenuhi permintaannya yaitu, Lela untuk kembali ke Deli Lama dan menjelma menjadi “Meriam Pontong” diistana Maimun, Medan, Provinsi Sumatera Utara untuk menjaga istana tersebut. Dan adiknya yang bernama Berhala agar menjelma menjadi “Naga” di Laut Cina Selatan, sementara Cik Sima atau Puteri Hijau meninggalkan istana Sri Bunga Tanjung menuju “Gunung Ledang” di Johor, Malaysia. Konon ceritanya hingga sekarang Puteri Hijau tetap menjadi penunggu di Gunung Ledang.

Setelah kepergian tiga kemenakannya, Raja Sri Bunga Tanjung atau Bakhrum Alam Syah mengumpulkan rakyat Kerajaan Sri Bunga Tanjung dengan menggelar musyawarah tergempar yang intinya agar mendukung titah beliau dengan menutup Sungai Dumai dengan tanah liat dan dijadikan benteng pertahanan menghadapi ancaman Raja Aceh (Sekarang lokasi benteng tersebut dapat kita saksikan diujung jalan Benteng, kelurahan Pangkalan Sesai). Perintah ini didukung oleh seluruh rakyat dan orang-orang kenamaan istana. Setelah selesai pembuatan banteng tanah liat itu, beliau mengadakan pertemuan kedua dengan orang-orang istana dan beberapa orang dekat istana, yang intinya untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, perlu juga persiapan penyelamatan atas puteri-puterinya yaitu, Puteri Lindung Bulan, Puteri Mayang Mengurai, dan Puteri Ketimbung Raya serta empat orang dayang atau pengasuh yaitu, Puteri Awan Panjang, Puteri Awan Senja, Puteri Perdah Patah, dan Puteri Mustika Kencana. Maka diperintahlah para panglima-panglimadan kerabat dekat kerajaan untuk menggali lubang sepanjang tujuh depa dan lebar dua depa yang akan digunakan sebagai tempat menyembunyikan tiga puteri dan keempat dayang-dayang Kerajaan Sri Bunga Tanjung. Parit persembunyian ini dibuat didekat Parit Hukum atau Teluk Binjai. Setelah selesai pembuatan lubang atau gua bawah tanah itu, maka keesokan harinya dibawalah ketiga puteri dan keempat dayang-dayangnya dengan diawasi dua orang hulubalang yaitu, panglima Dekoho dan panglima Galang.

Sesuai dengan janjinya, Raja Aceh memang tidak main-main dengan ancamannya, mereka memang benar-benar datang untuk menyerang Kerajaan Sri Bunga Tanjung karena ia merasa terhina atas penolakan pinangannya kepada Cik Sima atau Puteri Hijau, tetapi betapa terkejutnya Raja Aceh, sesampainya dihulu Sungai Dumai tepatnyadi Simpang Acak, dilihatnya Sungai Dumai telah tertutup tanah liat menyerupai benteng, maka diperintahkanlah pasukan Raja Aceh untuk mengamati keadaan ini dengan menaiki benteng tersebut. Dari kejauhan dilihatnya sekelompok pasukan bala tentara Kerajaan Sri Bunga Tanjung menuju benteng, maka segeralah pasukan pengintai Raja Aceh turun keperahu memberitahukan Rajanya. Seketika itu juga diaturlah penyerangan pasukan Aceh terhadap pasukan Kerajaan Sri Bunga Tanjung. Maka terjadilah pertempuran yang sengit antara kedua pasukan ini.

Sementara itu raja Sri Bunga Tanjung menyadari bahwa sebenarnya pasukannya tidaklah seimbang bila dibandingkan dengan pasukan Raja Aceh, maka diperintahkanlah seorang suruhan kerajaan untuk menyampaikan berita penyerangan pasukan Raja Aceh ini kepada saudara istrinya Siti Zaleha di Simpang Kedondong, Pangkalan Sesai. Setelah menyampaikan berita ini segeralah Siti Zaleha atau yang lebih dikenal “Tuk Kedondong” meminta bantuan kepada asuhannya untuk turut membantu pasukan Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan menghentikan pertempuran itu, tiba-tiba pertempuran tanpa komando terhenti seketika,  karena salah seorang pasukan Raja Aceh memberitahukan kepada pimpinan perang dan mengatakan bahwa, “Raja kita telah bersimbah darah didalam perahu, kemungkinan raja kita telah wafat.” Sebelum wafat Raja Aceh bersumpah, “Tidak akan selamat Kerajaan Sri Bunga Tanjung.” Maka segeralah pasukan Aceh yang masih tersisa kembali keperahu, tetapi sampai diperahu dilihatnya rajanya telah wafat tertusuk buah bungkat atau buah bakau yang masih kuncup dan perahunya telah digenangi air, maka segeralah pasukan Aceh menurunkan  sampan tunda atau sekoci untuk kemudian memasukkan raja yang telah wafat  kedalam sampan tunda dan menuju kuala Suangai Mesjid tepatnya di Teluk Mas. Sesampainya didaerah ini, mereka membuat bangsal, maka dimungkinkan asal mula nama kelurahan “Bangsal Aceh” sekarang bermula dari pasukan Aceh yang pernah berbangsal didaerah ini, disini pasukan Aceh menyiapkan keranda atau peti jenazah untuk mengusung jenazah rajanya.

Keesokan harinya, pasukan Aceh dengan menggunakan sampan tunda seadanya membawa jenazah rajanya kembali ke Aceh, hal ini sesuai wasiatnya, jika ia wafat dimedan laga, agar membawa jenazahnya kekampung halamannya di Aceh, akan tetapi karena beban yang berat sebelum meninggalkan kuala Sungai Mesjid, pasukan Aceh menjatuhkan gong dan gendang didekat Tanjung Penyembal, maka dimungkinkan pula asal mula nama kelurahan “Lubuk Gaung” sekarang pun bermula dari peristiwa gong yang dijatuhkan didaerah ini menjadi nama “Lubuk Gong” atau “Lubuk Gaung.”

Setelah pertempuran usai, teringatlah Raja Bakhrum Alam Syah akan ketujuh puterinya yang disembunyikan di Parit Hukum dekat Teluk Binjai yang dikawal oleh dua orang hulubalang beberarapa hari yang lalu. Maka bersama-sama pasukan raja bermaksud menjemput ketujuh puterinya tersebut. Tetapi betapa terkejutnya, sesampainya digua persembunyian ketujuh puteri itu ternyata ketujuh puteri dan dua orang hulubalngnya telah wafat. Suasana duka merundung keluarga Raja Sri Bunga Tanjung, kemudian akhirnya jenazah ketujuh puteri yang terdiri dari tiga puteri kandung dan keempat dayang dan dua orang hulubalang Kerajaan Sri BungaTanjung itu dimakamkan digua buatan tadi sehingga kuburan ini disebut “Kuburan Panjang”. Lokasi Kuburan Panjang ini sekarang terletak dikomplek kilang minyak Pertamina Unit Pengolahan II Dumai. Mungkinkah kematian ketujuh puteri dan dua orang hulubalang ini merupakan buah sumpah Raja Aceh yang wafat tertikan buah bungkat atau buah bakau? Wallahualam

Kesimpulan
Kisah ini menggambarkan keegoan sang penguasa, yang selalu menyampaikan permintaan yang harus dituruti semua orang, tidak terpenuhi permintaan selalu dendam dan permusuhan dan menggelar kekuatan dalam bentuk pertempuran, sikap ini masih terjadi di masyarakat kita hari ini dalam bentuk dan versi lain, sungguh sikap ini harus dihindari, karena merupakan sikap yang tidak terpuji.

0 komentar:

Pos Populer

Diberdayakan oleh Blogger.