Nak cari ape..??

Rabu, 28 Oktober 2015

Malin Kundang (Cerita Rakyat Kota Padang, Sumatera Barat)


Di selatan kota Padang, terhampar pantai yang berair jernih. Jika angin sepoi-sepoi bertiup, suara ombaknya terdengar lembut dan manis. Oleh penduduk, pantai itu dinamakan Pantai Air Manis. Karena keindahannya, Pantai Air Manis banyak didatangi orang untuk berekreasi. Tak jauh dari pantai itu, terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Pisang Kecil. Dipulau itu terdapat banyak monyet yang bersahabat tetapi tidak jinak. 

Jika ada badai, ombak besar bergulung-gulung dari tengah lautan dan kemudian terhempas dipantai. Dipantai itu terdapat bukit yang menjorok kelaut. Kaki bukit itu terdiri atas batu-batu besar. Jika ombak besar menghantam batu-batu itu, percikan airnya tinggi sekali. Bunyinya seperti orang melolong, memilukan hati orang yang mendengarnya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap yang menyesali diri.

Menurut pencerita, batu-batu besar itu dahulu adalah batu kapal Malin Kundang yang dihempaskan ombak sehingga pecah berkeping-keping. Suara yang memilukan hati berasal dari teriakan dan ratap tangisnya yang meminta ampun atas kedurhakaan kepada ibunya.

Malin Kundang adalah anak tunggal suami istri nelayan Air Manis. Sebelum lahir, Malin ditinggal pergi ayahnya. Ayahnya pergi berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Oleh karena itu, malin diasuh oleh ibunya. Ibu Malin menghidupi keluarga dengan mengumpulkan ikan yang dibuang karena tidak laku dijual. Selain itu dia juga mengumpulkan ranting-ranting diatas bukit. Malin sangat disayangi ibunya.

Malin tidak pernah dibiarkan pergi jauh. Ibunya takut Malin dilamun (tenggelam) ombak besar. Kemana ibunya pergi, Malin selalu dikundang-kundang (dibawa kemana saja). Oleh karena itu, Malin dinamakan Malin Kundang.

Pada suatu hari, Malin berlari-lari disekeliling ibunya yang sedang menjemur ikan. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada jala ikan sehingga dia terjatuh. Kepalanya terbentur pada pingggir panci kayu. “Anakku!” Teriak ibunya sambil melompat meraih anaknya. Luka dikening Malin mengucurkan darah. Luka itu tetap berbekas sampai dia dewasa.

Setelah dewasa, Malin meminta izin pada ibunya untuk pergi merantau. Meskipun dengn berat hati, ibunya akhirnya mengizinkan Malin pergi. Malin dibekali dengan nasi sebungkus daun pisang. Banyaknya tujuh bungkus, untuk dimakan selama tujuh hari tujuh malam.

Setiap hari ibu Malin memandang kelaut sambil bertanya-tanya dalam hati. Sekarang Malin sudah sampai dimana? Jika ada badai dan ombak besar menghempas kepantai, jantung ibu berdebar-debnar. Ditadahkan kedua tangannya kelangit. Ia berdoa agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal atau pencalang datang, dia selalu harap agar anaknya kembali pulang. Jika ternyata Malin tidak datang, ditanyakannya kepada nakhoda kapal itu, apakah mereka bertemu Malin Kundang? Jika bertemu, adakah pesan yang dititipkannya? Akan tetapi, sang ibu tidak pernah memperoleh berita tentang anaknya itu.

Begitulah yang dilakukan ibu Malin setiap hari hingga bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan, ia mulai terbungkuk-bungkuk. Akhirnya ibu Malin mendapat kabar dari nakhoda kapal yang dahulu membawa Malin. Ia sangat gembira karena dikabarkan bahwa Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik, putri seoarang bangsawan kaya raya. Sejak mendengar berita itu, ibu Malin semakin sering berdoa kepada Tuhan. Ia berdoa agar anaknya selamat selama diperantauan.

Setelah berbulan-bulan, belum juga ada tanda-tanda Malin akan kembali. Akan tetapi, ibu Malin tetap yakin jika anaknya akan pulang pada suatu hari nanti. Demikianlah pada suatu hari yang cerah, dari kejauhan terlihat sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu bukan sembarang kapal, kapal itu bertingkat-tingkat. Orang kampung dipantai itu menjadi gempar melihat kapal yang semakin mendekat itu. Mereka semua menyangka bahwa kapal itu pastilah kapal milik raja atau pangeran. Mereka menyambutnya dengan meriah.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang orang muda berdiri dianjungan. Pakaiannya berkilau-kilau terkena cahaya matahari. Wajahnya cerah dihiasi senyum. Kedua orang itu bahagia karena disambut dengan meriah. Orang-orang-orang yang datang terkagum-kagum. Ibu Malin ikut berdesak-desakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia yakin bahwa itulah anak kesayangannya. Sebelum penghulu desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia memeluk erat Malin sambil meraba bekas luka dikeningnya agar lebih yakin.

Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita yang berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?” Lalu dia meludah lagi.

Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling kepasir. Merasa heran dan tidak percaya pada perlakuan anaknya, wanita itu terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Inilah ibumu.”

Malin Kundang tidak mendengar perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan buruk. Ibuku bukan seperti engkau.”

Wanita tua itu terkapar dipasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang kerumah masing-masing. Ibu Malin pingsan dan terbaring sendiri. Ketika mulai siuman, dia seperti terbangun dari mimpi. Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya kelangit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Oh Tuhan Yang Maha Kuasa, kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku sumpahi dia menjadi batu.”

Tidak lama kemudian, datanglah badai besar. Ombak bergulung-gulung dengan bunyi membahana terhempas kepantai. Badai itu berlangsung hingga tengah malam. Pohon kelapa bertumbangan. Rumah-rumah berderak-derak tertiup angin. Semua orang takut dan cemas.

Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Dikaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Seperti sumpah sang ibu, Malin Kundang anak yang durhaka telah menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

0 komentar:

Pos Populer

Diberdayakan oleh Blogger.