Di selatan kota Padang, terhampar pantai yang berair
jernih. Jika angin sepoi-sepoi bertiup, suara ombaknya terdengar lembut dan
manis. Oleh penduduk, pantai itu dinamakan Pantai Air Manis. Karena keindahannya,
Pantai Air Manis banyak didatangi orang untuk berekreasi. Tak jauh dari pantai
itu, terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Pisang Kecil. Dipulau itu
terdapat banyak monyet yang bersahabat tetapi tidak jinak.
Jika ada badai, ombak besar bergulung-gulung dari tengah lautan dan kemudian terhempas dipantai. Dipantai itu terdapat bukit yang menjorok kelaut. Kaki bukit itu terdiri atas batu-batu besar. Jika ombak besar menghantam batu-batu itu, percikan airnya tinggi sekali. Bunyinya seperti orang melolong, memilukan hati orang yang mendengarnya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap yang menyesali diri.
Menurut pencerita, batu-batu besar itu dahulu adalah
batu kapal Malin Kundang yang dihempaskan ombak sehingga pecah
berkeping-keping. Suara yang memilukan hati berasal dari teriakan dan ratap
tangisnya yang meminta ampun atas kedurhakaan kepada ibunya.
Malin Kundang adalah anak tunggal suami istri nelayan
Air Manis. Sebelum lahir, Malin ditinggal pergi ayahnya. Ayahnya pergi berlayar
dan tidak pernah kembali lagi. Oleh karena itu, malin diasuh oleh ibunya. Ibu
Malin menghidupi keluarga dengan mengumpulkan ikan yang dibuang karena tidak
laku dijual. Selain itu dia juga mengumpulkan ranting-ranting diatas bukit.
Malin sangat disayangi ibunya.
Malin tidak pernah dibiarkan pergi jauh. Ibunya takut
Malin dilamun (tenggelam) ombak besar. Kemana ibunya pergi, Malin selalu
dikundang-kundang (dibawa kemana saja). Oleh karena itu, Malin dinamakan
Malin Kundang.
Pada suatu hari, Malin berlari-lari disekeliling
ibunya yang sedang menjemur ikan. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada jala ikan
sehingga dia terjatuh. Kepalanya terbentur pada pingggir panci kayu. “Anakku!”
Teriak ibunya sambil melompat meraih anaknya. Luka dikening Malin mengucurkan
darah. Luka itu tetap berbekas sampai dia dewasa.
Setelah dewasa, Malin meminta izin pada ibunya untuk
pergi merantau. Meskipun dengn berat hati, ibunya akhirnya mengizinkan Malin
pergi. Malin dibekali dengan nasi sebungkus daun pisang. Banyaknya tujuh
bungkus, untuk dimakan selama tujuh hari tujuh malam.
Setiap hari ibu Malin memandang kelaut sambil
bertanya-tanya dalam hati. Sekarang Malin sudah sampai dimana? Jika ada badai
dan ombak besar menghempas kepantai, jantung ibu berdebar-debnar. Ditadahkan
kedua tangannya kelangit. Ia berdoa agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika
ada kapal atau pencalang datang, dia selalu harap agar anaknya kembali
pulang. Jika ternyata Malin tidak datang, ditanyakannya kepada nakhoda kapal
itu, apakah mereka bertemu Malin Kundang? Jika bertemu, adakah pesan yang
dititipkannya? Akan tetapi, sang ibu tidak pernah memperoleh berita tentang
anaknya itu.
Begitulah yang dilakukan ibu Malin setiap hari hingga
bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan, ia mulai
terbungkuk-bungkuk. Akhirnya ibu Malin mendapat kabar dari nakhoda kapal yang
dahulu membawa Malin. Ia sangat gembira karena dikabarkan bahwa Malin telah
menikah dengan seorang gadis cantik, putri seoarang bangsawan kaya raya. Sejak
mendengar berita itu, ibu Malin semakin sering berdoa kepada Tuhan. Ia berdoa
agar anaknya selamat selama diperantauan.
Setelah berbulan-bulan, belum juga ada tanda-tanda
Malin akan kembali. Akan tetapi, ibu Malin tetap yakin jika anaknya akan pulang
pada suatu hari nanti. Demikianlah pada suatu hari yang cerah, dari kejauhan
terlihat sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu bukan
sembarang kapal, kapal itu bertingkat-tingkat. Orang kampung dipantai itu
menjadi gempar melihat kapal yang semakin mendekat itu. Mereka semua menyangka
bahwa kapal itu pastilah kapal milik raja atau pangeran. Mereka menyambutnya
dengan meriah.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang
orang muda berdiri dianjungan. Pakaiannya berkilau-kilau terkena cahaya
matahari. Wajahnya cerah dihiasi senyum. Kedua orang itu bahagia karena
disambut dengan meriah. Orang-orang-orang yang datang terkagum-kagum. Ibu Malin
ikut berdesak-desakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia yakin
bahwa itulah anak kesayangannya. Sebelum penghulu desa sempat menyambut, ibu
Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia memeluk erat Malin sambil meraba
bekas luka dikeningnya agar lebih yakin.
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang
berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya.
Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita yang berbadan tegar yang kuat
menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya
yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau
membohongi aku?” Lalu dia meludah lagi.
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong
wanita itu hingga terguling kepasir. Merasa heran dan tidak percaya pada
perlakuan anaknya, wanita itu terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku.
Inilah ibumu.”
Malin Kundang tidak mendengar perkataan ibunya.
Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya,
dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu
beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai,
perempuan buruk. Ibuku bukan seperti engkau.”
Wanita tua itu terkapar dipasir. Orang banyak terpana
dan kemudian pulang kerumah masing-masing. Ibu Malin pingsan dan terbaring
sendiri. Ketika mulai siuman, dia seperti terbangun dari mimpi. Pantai Air
Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih
seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya kelangit. Ia kemudian berseru
dengan hatinya yang pilu, “Oh Tuhan Yang Maha Kuasa, kalau memang dia benar
anakku, Malin Kundang, aku sumpahi dia menjadi batu.”
Tidak lama kemudian, datanglah badai besar. Ombak
bergulung-gulung dengan bunyi membahana terhempas kepantai. Badai itu
berlangsung hingga tengah malam. Pohon kelapa bertumbangan. Rumah-rumah
berderak-derak tertiup angin. Semua orang takut dan cemas.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah
reda. Dikaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Seperti
sumpah sang ibu, Malin Kundang anak yang durhaka telah menjadi batu.
Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan
tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus
mencari Malin Kundang.
0 komentar:
Posting Komentar