Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci,
Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama
suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama
suaminya menanam padi disawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya
seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap
habis dipanen, tanaman padi disawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi,
muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam
menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun,
kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa
mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat
bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur,
Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang sedang berbaring diatas pembaringan.
“Bang, Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-anak
dan bersilaturahmi ketetangga, karena kita seperti terkucil,” ungkap Putri
Tangguk kepada suaminya. “Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan
suara pelan. “Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang
ada disamping rumah untuk persediaan kebutuhan kita beberapa bulan kedepan,”
jawab Putri Tangguk. “Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak kesawah
untuk membantu mengangkut padi pulang kerumah,” jawab suaminya. “Ya, Bang!” jawab
Putri Tangguk.
Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap
karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin
larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari
mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada dikampung maupun yang menuju
kesawah menjadi licin.
Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat kesawah untuk menuai padi dan mengangkutnya kerumah. Dalam perjalanan menuju kesawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan dibelakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah. “Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk. “Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan disini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.
Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat kesawah untuk menuai padi dan mengangkutnya kerumah. Dalam perjalanan menuju kesawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan dibelakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah. “Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk. “Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan disini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.
Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi
yang mereka bawa diserakkan dijalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya
membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya kedalam lumbung padi. Sesuai
dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi disawahnya yang
seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia
membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi,
kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi
kerumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.
Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain
dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi didapur untuk suami dan
anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam.
Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun
ikut tidur disamping anak-anaknya.
Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena
kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya
sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang
lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali
tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya,melainkan
memarahinya.
“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani
seperti anak kecil. Ambil sendiri nasi dipanci. Kalau tidak ada, ambil beras
dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi dilumbung dan
tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada anak sulungnya.
Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti
kata-kata ibunya. Namun, ketika masuk kedapur, ia tidak menemukan nasi dipanci
maupun beras dikaleng. “Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah
tumbukkan dan tampikan padi!” pinta si Sulung kepada ibunya. “Ya, sudahlah
kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas menumbuk dan
menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu tetangga,” ujar
Putri Tangguk. Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena
kelelahan setelah menenun seharian penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia
harus menahan lapar hingga pagi hari.
Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan
perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat
menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan
minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi
dilumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju kelumbung padi yang
berada disamping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu
lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong. “Hei, kemana padi-padi itu?”
gumam sang Suami.
Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu
lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir
pun biji padi yang tersisa. “Dik...! Dik...! Cepatlah kemari!” seru sang Suami
memanggil Putri Tangguk. “Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan
cemas. “Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang
mengambil padi kita,” jawab sang Suami.
Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia
seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru disaksikannya. “Benar, Bang! Tadi
malam pencuri itu juga mengambil nasi kita dipanci dan beras dikaleng,” tambah
Putri Tangguk. “Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan.
Bukankah sawah kita adalah gudang padi?” kata Putri Tangguk.
Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik
tangan suaminya lalu berlari menuju kesawah. Sesampai disawah, alangkah
kecewanya Putri Tangguk, karena harapannya telah sirna. “Bang! Pupuslah harapan
kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang padi pun tidak ada. Yang
ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri Tangguk.
Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya
tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan
sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang kerumah. Kakinya terasa sangat berat
untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap
dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap
dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan
menyerakkannya dijalan yang becek agar tidak licin. “Ya... Tuhan! Itukah
kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam
hati.
Sesampainnya dirumah, Putri Tangguk tidak dapat
berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk
termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua
berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.
“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah
seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai
kelangit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur.
Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir
sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Diantara
padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah
raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi
masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami
semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh disawahmu. Masa depan kamu
dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil
kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa
makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais
dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.
Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua
itu sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia
sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya
semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia
sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan
menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah
penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.