Alkisah, pada zaman dahulu kala, disebuah daerah di
Provinsi Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja atau datu yang bernama La
Busatana  Datu Maongge, atau sering  dipanggil Raja Luwu atau Datu
Luwu. Ia adalah  seorang raja yang adil, arif dan  bijaksana,
sehingga rakyatnya hidup  makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang
putri yang cantik  jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik.
Berita kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai keberbagai negeri di
Sulawesi Selatan.
Pada  suatu hari, Raja Bone ingin 
menikahkan putranya dengan Putri Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa
pengawal  istana kekerajaan Luwu  untuk melamar sang Putri.
Sesampainya diistana Luwu,  utusan tersebut  disambut dengan ramah
oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Bone,” lapor seorang
utusan sambil memberi hormat kepada Datu Luwu. “Kalau boleh aku tahu, ada apa
gerangan kalian diutus oleh Raja  kalian keistana kami?,” tanya Datu Luwu
dengan penuh wibawa.  “Ampun, Baginda! Perkenankanlah  kami untuk
menyampaikan lamaran Raja Bone untuk putranya kepada putri Baginda yang bernama
Putri Tandampalik,” jawab utusan itu memberi hormat.
Mendengar lamaran itu, Datu Luwu  terdiam
sejenak. Ia bingung untuk mengambil  keputusan, menerima atau menolaknya,
sebab dalam adat Kerajaan Luwu,  seorang gadis Luwu tidak dibenarkan
menikah  dengan pemuda dari negeri  lain. Akan tetapi, jika lamaran
itu ditolak, ia  khawatir akan terjadi  perang yang sangat dahsyat
antara dua kerajaan, sehingga  membuat rakyat menderita. Setelah
beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih  kebingungan untuk memberikan
jawaban. “Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa dikerajaan Luwu ini
berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri Luwuk tidak  boleh menikah
dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu,  tolong sampaikan  kepada
raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa hari untuk memikirkan 
lamarannya tersebut,” ujar Datu Luwu. Utusan Raja  Bone memahami dan
mengerti  keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali kekerajaan Bone untuk
menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone.
Keesokan  harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger.
Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur   tubuhnya
mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para
tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik terserang penyakit menular
yang sangat berbahaya. Berita  tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah
tersebar keseluruh  negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas
penyakit yang diderita oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir
dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya
kesuatu tempat yang jauh. Ia khawatir penyakit putrinya akan menular keseluruh
rakyatnya. “Putriku! Demi keselamatan seluruh rakyat dinegeri ini, relakah
engkau  jika Ayah mengasingkanmu  kedaerah lain?” tanya Raja Luwu
pada  putrinya.“ Jika itu adalah jalan yang terbaik, Ananda menerima 
keputusan Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima keputusan ayahnya
dengan tulus.
Dengan  berat hati, Datu Luwu terpaksa harus
berpisah dengan putri yang sangat  dicintainya itu. Berangkatlah  sang Putri dengan perahu bersama beberapa pengawal
istana. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberikan  sebuah keris pusaka
kepada Putri Tandampalik sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan, apalagi
membuang anaknya. Setelah mempersiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan,
berangkatlah mereka kesuatu  daerah  yang jauh dari Kerajaan Luwu.
Berbulan-bulan sudah mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.
Pada  suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah
pulau dari kejauhan. “Lihat, Tuan Putri!” seru seorang pengawal sambil 
menunjuk kearah pulau itu. “Akhirnya,  kita pun menemukan pulau,” 
jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para  pengawal pun semakin cepat
mengayuh perahunya mendekati pulau itu. “Wah, indah sekali pemandangan itu.
Sepertinya  pulau itu belum terjamah oleh manusia,” sahut pengawal yang
lain dengan kagum.
Tak  berapa  lama, sampailah mereka dipulau
itu.Seorang pengawal yang  lebih dahulu  menginjakkan kakinya dipulau
itu menemukan buah wajao. Pengawal itu  kemudian memetik beberapa
biji buah wajao untuk sang Putri. “Pulau ini  kuberi nama Pulau Wajo,” kata 
sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri Tandampalik
beserta  pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup  dengan
penuh kesederhanaan. Meskipun  demikian, mereka tetap bekerja  keras
penuh dengan semangat dan gembira. Hari  berganti hari, minggu 
berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu tahun sudah mereka
berada ditempat itu.
Suatu  waktu, Putri Tandampalik duduk ditepi
danau yang terletak ditengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih
menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri
hendak mengusirnya. Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus 
menjilatinya. Akhirnya, ia  diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah
berkali-kali  dijilat oleh kerbau  itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan
cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan
bersih seperti sedia kala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan,
karena  penyakitnya telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para
pengawalnya,  “Mulai saat ini, aku minta kalian untuk tidak menyembelih
atau memakan kerbau putih yang ada dipulau ini, karena hewan itu telah 
menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang  Putri itu langsung
dipenuhi  oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih  yang
ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian
oleh masyarakat  setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.
Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan
pemburu. Mereka adalah Putra Mahkota Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru
Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking 
asyiknya  berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah
terpisah dari rombongannya dan tersesat dihutan. Ia terus berteriak 
memanggil panglima dan para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...! 
Aku disini, kalian dimana...?” Berkali-kali sang Putra Mahkota 
berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang  malam, ia pun
memutuskan  untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan
seharian berburu.
Malam  semakin  larut, Putra Mahkota tidak
dapat memejamkan matanya. Suara-suara binatang malam  membuatnya terus
terjaga dan gelisah. Ditengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat seberkas
cahaya dari  kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang.
Ia sangat  penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri
untuk mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota berusaha
berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam. Akhirnya,
sampailah ia disebuah perkampungan yang ramai dengan  rumah-rumah
penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin
jelas terdapat disebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-pelan,
Putra Mahkota  mendekati dan memasuki  rumah itu. Alangkah terkejutnya
ia ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali bak bidadari sedang
menjerang (memasak) air didalam rumah itu. Gadis  cantik itu tidak
lain adalah Putri Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah aku. Selama hidupku,
baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,” kata Putra  Mahkota
dalam hati dengan perasaan kagum.
Putri Tandampalik yang merasa kedatangan tamu,
tiba-tiba menoleh. Sang Putri tergagap, “Tampan sekali pemuda ini. Tetapi,
siapa dia dan dari mana asalnya? Sepertinya dia bukan penduduk sini,” kata sang
Putri dalam  hati. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat,
keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur
bahasa Putra Mahkota. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan
rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra  Mahkota, Putri Tandampalik
adalah seorang gadis  yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan
penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung 
menaruh hati. Namun, Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau
Wajo menemani Putri Tandampalik, karena ia harus kembali kenegerinya
untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya di Istana Bone.
Sejak   perjalanan dari Pulau Wajo sampai
kekerajaan Bone, Putra Mahkota  selalu  teringat pada wajah cantik
Putri Tandampalik. Ingin rasanya  Putra Mahkota  tinggal di Pulau
Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih dulu tiba dinegeri Bone setelah
berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau  Wajo, mengetahui apa yang 
dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering  melihat Putra Mahkota
duduk  termenung seorang diri ditepi telaga. Oleh karena tidak ingin
melihat tuannya  terus bersedih, maka Anreguru Pakanyareng segera
menghadap dan menceritakan  semua kejadian yang pernah mereka alami
di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba mengusulkan agar Paduka Raja segera
melamar Putri Tandampalik,” usul Anreguru  Pakanyareng. Setelah
mendengar semua cerita dan usulan Anreguru itu, Raja Bone  segera
mengutus beberapa pengawalnya mendampingi Putra Mahkota untuk melamar
Putri Tandampalik di Pulau Wajo.
Sesampainya  dipulau itu, Putri Tandampalik tidak
langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka
Kerajaan Luwu yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan. “Maaf,
Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima lamaran kalian. Bawalah keris ini kepada Ayahandaku.
Jika Ayahandaku  menerima kerisini berarti lamaran kalian diterima,” ujar
sang Putri  seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah bermusyawarah
dengan pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat sendiri
kekerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan semangat.
Setibanya dikerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri
Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.
Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar
berita baik tersebut. Datu  Luwu sangat kagum  dengan perangai Putra
Mahkota. Datu Luwu merasa bahwa Putra Mahkota adalah  seorang pemuda yang
gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir
panjang lagi, Datu  Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini
berarti bahwa lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu 
Luwu dan  permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri
kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat
mengharukan.  “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ketempat
ini,”  Datu Luwu minta maaf sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru
Ayah  harus bersyukur, karena  rakyat Luwu terhindar dari penyakit
menular yang menimpa diriku,” kata Putri Tandampalik.
Beberapa  hari  kemudian, Putri Tandampalik
menikah dengan Putra Mahkota Raja Bone di Pulau Wajo.  Pesta pernikahan
mereka berlansung sangat meriah.  Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar
di Sulawesi Selatan itu sangat  gembira dengan pernikahan tersebut. Putri
Tandampalik dan Putra  Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun 
kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana.
Maka semakin  bertambahlah kebahagiaan mereka.