Nak cari ape..??

Jumat, 01 Januari 2016

Putri Tandampalik (Diangkat dari cerita rakyat Sulawesi Selatan)



Alkisah, pada zaman dahulu kala, disebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja atau datu yang bernama La Busatana  Datu Maongge, atau sering  dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah  seorang raja yang adil, arif dan  bijaksana, sehingga rakyatnya hidup  makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang putri yang cantik  jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai keberbagai negeri di Sulawesi Selatan.

Pada  suatu hari, Raja Bone ingin  menikahkan putranya dengan Putri Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa pengawal  istana kekerajaan Luwu  untuk melamar sang Putri. Sesampainya diistana Luwu,  utusan tersebut  disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Bone,” lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada Datu Luwu. “Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh Raja  kalian keistana kami?,” tanya Datu Luwu dengan penuh wibawa.  “Ampun, Baginda! Perkenankanlah  kami untuk menyampaikan lamaran Raja Bone untuk putranya kepada putri Baginda yang bernama Putri Tandampalik,” jawab utusan itu memberi hormat.

Mendengar lamaran itu, Datu Luwu  terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil  keputusan, menerima atau menolaknya, sebab dalam adat Kerajaan Luwu,  seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah  dengan pemuda dari negeri  lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia  khawatir akan terjadi  perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga  membuat rakyat menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih  kebingungan untuk memberikan jawaban. “Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa dikerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri Luwuk tidak  boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu,  tolong sampaikan  kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa hari untuk memikirkan  lamarannya tersebut,” ujar Datu Luwu. Utusan Raja  Bone memahami dan mengerti  keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali kekerajaan Bone untuk menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone.

Keesokan  harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur   tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang sangat berbahaya. Berita  tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah tersebar keseluruh  negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas penyakit yang diderita oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya kesuatu tempat yang jauh. Ia khawatir penyakit putrinya akan menular keseluruh rakyatnya. “Putriku! Demi keselamatan seluruh rakyat dinegeri ini, relakah engkau  jika Ayah mengasingkanmu  kedaerah lain?” tanya Raja Luwu pada  putrinya.“ Jika itu adalah jalan yang terbaik, Ananda menerima  keputusan Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima keputusan ayahnya dengan tulus.

Dengan  berat hati, Datu Luwu terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat  dicintainya itu. Berangkatlah  sang Putri dengan perahu bersama beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberikan  sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah mempersiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka kesuatu  daerah  yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.

Pada  suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah pulau dari kejauhan. “Lihat, Tuan Putri!” seru seorang pengawal sambil  menunjuk kearah pulau itu. “Akhirnya,  kita pun menemukan pulau,”  jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para  pengawal pun semakin cepat mengayuh perahunya mendekati pulau itu. “Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya  pulau itu belum terjamah oleh manusia,” sahut pengawal yang lain dengan kagum.

Tak  berapa  lama, sampailah mereka dipulau itu.Seorang pengawal yang  lebih dahulu  menginjakkan kakinya dipulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu  kemudian memetik beberapa biji buah wajao untuk sang Putri. “Pulau ini  kuberi nama Pulau Wajo,” kata  sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri Tandampalik beserta  pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup  dengan penuh kesederhanaan. Meskipun  demikian, mereka tetap bekerja  keras penuh dengan semangat dan gembira. Hari  berganti hari, minggu  berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu tahun sudah mereka berada ditempat itu.

Suatu  waktu, Putri Tandampalik duduk ditepi danau yang terletak ditengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri hendak mengusirnya. Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus  menjilatinya. Akhirnya, ia  diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali  dijilat oleh kerbau  itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti sedia kala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena  penyakitnya telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para pengawalnya,  “Mulai saat ini, aku minta kalian untuk tidak menyembelih atau memakan kerbau putih yang ada dipulau ini, karena hewan itu telah  menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang  Putri itu langsung dipenuhi  oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih  yang ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian oleh masyarakat  setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.

Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah Putra Mahkota Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking  asyiknya  berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongannya dan tersesat dihutan. Ia terus berteriak  memanggil panglima dan para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...!  Aku disini, kalian dimana...?” Berkali-kali sang Putra Mahkota  berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang  malam, ia pun memutuskan  untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan seharian berburu.

Malam  semakin  larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara binatang malam  membuatnya terus terjaga dan gelisah. Ditengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari  kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang. Ia sangat  penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri untuk mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam. Akhirnya, sampailah ia disebuah perkampungan yang ramai dengan  rumah-rumah penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin jelas terdapat disebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota  mendekati dan memasuki  rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali bak bidadari sedang menjerang (memasak) air didalam rumah itu. Gadis  cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah aku. Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,” kata Putra  Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.

Putri Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri tergagap, “Tampan sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana asalnya? Sepertinya dia bukan penduduk sini,” kata sang Putri dalam  hati. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra  Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis  yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung  menaruh hati. Namun, Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo menemani Putri Tandampalik, karena ia harus kembali kenegerinya untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya di Istana Bone.

Sejak   perjalanan dari Pulau Wajo sampai kekerajaan Bone, Putra Mahkota  selalu  teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya  Putra Mahkota  tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih dulu tiba dinegeri Bone setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau  Wajo, mengetahui apa yang  dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering  melihat Putra Mahkota duduk  termenung seorang diri ditepi telaga. Oleh karena tidak ingin melihat tuannya  terus bersedih, maka Anreguru Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan  semua kejadian yang pernah mereka alami di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar Putri Tandampalik,” usul Anreguru  Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan Anreguru itu, Raja Bone  segera mengutus beberapa pengawalnya mendampingi Putra Mahkota untuk melamar Putri Tandampalik di Pulau Wajo.

Sesampainya  dipulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan. “Maaf, Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima lamaran kalian. Bawalah keris ini kepada Ayahandaku. Jika Ayahandaku  menerima kerisini berarti lamaran kalian diterima,” ujar sang Putri  seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah bermusyawarah dengan pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat sendiri kekerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan semangat. Setibanya dikerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.


Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu  Luwu sangat kagum  dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa bahwa Putra Mahkota adalah  seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang lagi, Datu  Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini berarti bahwa lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu  Luwu dan  permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat mengharukan.  “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ketempat ini,”  Datu Luwu minta maaf sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru Ayah  harus bersyukur, karena  rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang menimpa diriku,” kata Putri Tandampalik.

Beberapa  hari  kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja Bone di Pulau Wajo.  Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah.  Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat  gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra  Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun  kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin  bertambahlah kebahagiaan mereka.

Pos Populer

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.