Alkisah, pada zaman dahulu kala, ditepi Sungai Siak
berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal,
karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima
Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satupun
kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang
putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai keberbagai negeri, Putri Kaca Mayang
namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya.
Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai
Panglima Gimpam yang gagah berani itu.
Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya
meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk
menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib.
Sesampainya dihadapan Raja Gasib, kedua panglima itu
kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah
utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan
raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang
Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.
“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf
kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar
jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan
kesal dan kecewa.
Dihadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan
tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina
mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan
Gasib.
Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan
perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia
sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin
penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah disekitar Sungai Siak.
Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh
Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima
Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh
dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk kenegeri Gasib. Maka dibujuknya
seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri
ini?"tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar,
Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan
darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu.
Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan
senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan
mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf,
Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa
dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak
belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa
memberi petunjuk jalan darat menuju kearah Gasib.
Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit
Aceh dinegeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada
saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja
Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika
musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit
Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk
melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan
telah tewas diujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap,
istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu per satu
dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun
berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana
telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali keistana. Ia
melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat
marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan
membawa kembali Putri Kaca Mayang keistana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh
untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah
Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut
kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk
menghadang Panglima Gimpam digerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba
digerbang istana, ia melompat kepunggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan
keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu keistana untuk
diserahkan kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat
keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah
dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima
Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali keistana Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca
Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang
Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk
bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada
Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak.
“Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit
ini.Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku diistina
Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam
berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima
Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri
keistana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima
Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang
kehadapan Raja Gasib.
Sesampainya diistana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam
yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan
perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa
menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak
kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari
kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang
amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan
menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib
dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun
berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima
Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan diatas kesedihan dan penderitaan orang
lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada
didepannya.
Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam
berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan
Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi
Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita
saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.
0 komentar:
Posting Komentar