Tersebut kisah keramat yang empat
Mencipta sakti diselat Rupat
Diserang Aceh tidaklah sempat
Rajanya ditikam sibuah bungkat
Benteng dibuat dari tanah liat
Untuk menghalang musuh yang tangguh dan gagah
Memang keRajaan Sri Bunga Tanjung amatlah kuat
Bertempur dan berbunuh mempertahankan marwah
Untuk perlindungan dan keamanan puteri terkaseh
Harap supaya aman tidak berbekas
Sebagai buah sumpah sang Raja Aceh
Wafat dan dimakamkan di Tanjung Palas
Alkisah tersebutlah sorang Puteri Hijau atau
disebut juga dengan Enci Sinia, yang terkenal dengan paras wajahnya yang
cantik rupawan, sehingga banyaklah orang yang menaruh hati kepadanya, ada yang
berpendapat bahwa ia sebenarnya berasal dari Aceh tetapi ia telah lama tinggal
di Deli Lama atau Deli Tua, Sumatera Utara. Puteri Hijau mempunyai dua orang
saudara kembar yang bernama Lela dan Berhala,. Karena keadaannya
yang tidak memungkinkan, Lela dan Berhala diasuh oleh pamannya yang bernama
Bakhrum Alam Syah atau yang dikenal dengan Lembang Jagal seorang Raja di
Kerajaan Sri Bunga Tanjung yang bertahta dihulu sungai Dumai. Sementara Puteri
Hijau atau Enci Sinia tinggal bersama ayahnya di Deli Lama. Pada waktu
orangtuanya masih hidup, banyaklah pinangan ditujukan kepadanya. Akan
tetapi karena orangtuanya sangat berpengaruh walaupun pinangannya ia tolak, tak
seorangpun berani berbuat apa-apa atas keputusan penolakan orangtuanya. Akan
tetapi sangat berbeda keadaannya bila orangtuanya telah wafat, banyak pinangan
yang ditujukan kepadanya, karena sang puteri tidak berkenan dan menolaknya
tiada lagi yang dapat dijadikan tempat berlindung bila ada yang murka atas
penolakan pinangannya.
Datanglah suatu ketika utusan pinangan kepadanya dari
Raja Aceh yang akan mempersunting sang puteri, akan tetapi lagi-lagi sang
puteri belum berkenan menerima pinangan itu, akan tetapi timbul pula
kekhawatiran sang puteri atas pernyataannya, sehingga menimbulkan permusuhan
dengan Raja yang meminangnya, maka ia memutuskan untuk meninggalkan negeri Deli
Lama menuju suatu tempat yang aman untuk menghilangkan jejak dari Raja Aceh,
sampailah ia disuatu kampung bernama “Pematang Pekaitan” dekat Bagan
Siapi-api sekarang. Untuk sekian lama ia tinggal disana dan hilanglah jejak
sang puteri dari Raja Aceh yang meminangnya.
Suatu ketika terdengar pula kabar sang puteri bahwa ia
mendengar pamannya Bakhrum Alam Syah atau lebih dikenal dengan sebutan Lembang
Jagal dan adik-adiknya Lela dan Berhala tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya
yaitu Kerajaan Sri Bunga Tanjung dihulu sungai Dumai.
Kerinduannya dengan adik-adiknya tiada dapat tertahan
lagi dan akan berusaha segera menemui adik-adiknya yang telah sekian lama tidak
bersua. Dengan tiada banyak kesulitan dengan berperahu akhirnya sang puteri
sampai di Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan disambut gembira oleh pamannya Bakhrum
Alam Syah dan adik-adiknya, ia tinggaldi Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan sang
putri lebih dikenal dengan panggilan Enci Sinia atau Cik Sima.
Dikerajaan, Cik Sima lebih berperan sebagai orang dalam kerajaan atau kerabat
dekat, karena kecantikan dan kesaktiannya ia sangat berpengaruh dilingkungan
kerajaan itu, terhadap sepupunya atau anak-anak pamannya serta
dayang-dayangnya, Cik Sima sangat disegani. Perlakuan sang paman terhadap Cik
Sima pun tidak berbeda pula dengan perlakuan terhadap anak-anaknya sendiri.
Banyak juga persoalan-persoalan atau masalah yang
berhubungan dengan perempuan Kerajaan Sri Bunga Tanjung penyelesaiannya
dibantu oleh Cik Sima. Sampai-sampai karena kelebihannya. Cik Sima disebut oleh
orang istana dengan sebutan Ratu Cik Sima. Walaupun sebenarnya ia adalah
hanya seorang kemenakan dari Bakhrum Alam Syah Raja Kerajaan Sri Bunga Tanjung.
Demikianlah kemasyhuran Cik Sima sehingga terkenal diserata negeri Sri
Bunga Tanjung dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Kemasyhuran Cik Sima sampai pula beritanya kepada Raja
Aceh yang pernah meminangnya dulu,untuk memastikan apakah Cik Sima itu
merupakan puteri Hijau yang pernah ia lamar, maka Raja Aceh mengirimkan
mata-mata ke Kerajaan Sri Bunga Tanjung, setelah mendapat kepastian bahwa Cik
Sima memang benar idaman hatinya yang pernah ia lamar dulu, maka Raja Aceh
itupun kembali mengirimkan utusan ke Kerajaan Sri Bunga Tanjung untuk meminang
Cik Sima. Utusan Raja Aceh menyampaikan kepada paman Cik Sima dengan untaian
pantun sebagai berikut.
Bukan kacang sembarang kacang
Kacang melilit dipohon pinang
Bukan datang sembarang datang
Datang saya hendak meminang
Pohon cempedak daunnya hijau
Padi disawah dimakan rusa
Kami meminang Puteri Hijau
Jika ditolak badan binasa
Pantun utusan Raja Aceh ini dibalas oleh paman Cik
Sima atau Raja Sri Bunga Tanjung sebagai berikut.
Bukan salak dari Jambi
Salak dari Indragiri
Bukan salah dari kami
Salah dari tuan sendiri
Sudah tahu periya itu pahit
Jangan digulai dengan cempedak
Sudah tahu jadi tak baik
Pinangan anda akan ditolak
Saya tak bisa bertanam padi
Hanya bisa bertanam nipah
Sayat ak bisa mengaku jadi
Saya bisa hanya berserah
Nipah tumbuh ditepi sempadan
Pohon rumbia buahnya redan
Saya berserah kepada tuan
Tanya sendiri yang punya badan
Setelah mendengar jawaban paman dari Cik Sima
dan menolak pinangan itu, maka utusan Raja Aceh pun kembali menyampaikan
kepada Rajanya, dan Raja Aceh pun langsung datang menemui Puteri hijau,
dan bertanya langsung kepadanya, “Hai Puteri Hijau, seandainya aku
mempersuntingkan kamu, apakah kamu setuju? Jika kamu tidak setuju, berilah
alasan yang tertentu." Puteri Hijau langsung menjawab dengan pantun sebagai
berikut.
Kalau tuan pergi ke Jambi
Burung bubut terbang pergi
Kalau tuan hendakkan kami
Buanglah parut yang ada dipipi
Hendak majon kuberi majon
Majon ada sudah terletak
Hendak pantun kuberi pantun
Pinangan tuan tertap ditolak
Tanam pandan dikaki bukit
Buah rambutan dari hulu
Rusak badan kena penyakit
Rusaknya bangsa karena tak malu
Kalau tau periya itu pahit
Kenapa digulai dengan kelapa
Sudah tau jadi tak baik
Kenapa dimulai dari semula
Dari dahulu orang bercakap
Kenapa digulung permadani
Dari dulu saya bercakap
Jangan dicari kami kemari
Raja Aceh pun membalas pantun Cik Sima atau Puteri
Hijau sebagai berikut.
Tanam pinang rapat-rapat
Dalam buluh puyuh berlari
Hendak dipinang tidak dapat
Hancur luluh hati kami
Sampan kotak perahu Cina
Patah pasak di Kuala Deli
Saya pergi tak akan lama
Sampai waktunya saya kesini
Setelah mendengar ancaman Raja Aceh ini, Cik Sima
memberitahukan kepada pamannya bahwa ia beketetapan hati untuk tetap menolak
pinagan itu dan ia berniat meninggalkan Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan meminta
kedua adiknya Lela dan Berhala untuk memenuhi permintaannya yaitu, Lela untuk
kembali ke Deli Lama dan menjelma menjadi “Meriam Pontong” diistana
Maimun, Medan, Provinsi Sumatera Utara untuk menjaga istana tersebut. Dan
adiknya yang bernama Berhala agar menjelma menjadi “Naga” di Laut Cina
Selatan, sementara Cik Sima atau Puteri Hijau meninggalkan istana Sri Bunga
Tanjung menuju “Gunung Ledang” di Johor, Malaysia. Konon ceritanya hingga
sekarang Puteri Hijau tetap menjadi penunggu di Gunung Ledang.
Setelah kepergian tiga kemenakannya, Raja Sri Bunga
Tanjung atau Bakhrum Alam Syah mengumpulkan rakyat Kerajaan Sri Bunga Tanjung
dengan menggelar musyawarah tergempar yang intinya agar mendukung titah beliau
dengan menutup Sungai Dumai dengan tanah liat dan dijadikan benteng pertahanan
menghadapi ancaman Raja Aceh (Sekarang lokasi benteng tersebut dapat kita
saksikan diujung jalan Benteng, kelurahan Pangkalan Sesai). Perintah ini
didukung oleh seluruh rakyat dan orang-orang kenamaan istana. Setelah selesai
pembuatan banteng tanah liat itu, beliau mengadakan pertemuan kedua dengan
orang-orang istana dan beberapa orang dekat istana, yang intinya untuk
menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, perlu juga persiapan penyelamatan
atas puteri-puterinya yaitu, Puteri Lindung Bulan, Puteri Mayang Mengurai, dan
Puteri Ketimbung Raya serta empat orang dayang atau pengasuh yaitu, Puteri Awan
Panjang, Puteri Awan Senja, Puteri Perdah Patah, dan Puteri Mustika Kencana.
Maka diperintahlah para panglima-panglimadan kerabat dekat kerajaan untuk
menggali lubang sepanjang tujuh depa dan lebar dua depa yang akan digunakan
sebagai tempat menyembunyikan tiga puteri dan keempat dayang-dayang Kerajaan
Sri Bunga Tanjung. Parit persembunyian ini dibuat didekat Parit Hukum atau
Teluk Binjai. Setelah selesai pembuatan lubang atau gua bawah tanah itu, maka
keesokan harinya dibawalah ketiga puteri dan keempat dayang-dayangnya dengan
diawasi dua orang hulubalang yaitu, panglima Dekoho dan panglima Galang.
Sesuai dengan janjinya, Raja Aceh memang tidak
main-main dengan ancamannya, mereka memang benar-benar datang untuk menyerang
Kerajaan Sri Bunga Tanjung karena ia merasa terhina atas penolakan pinangannya
kepada Cik Sima atau Puteri Hijau, tetapi betapa terkejutnya Raja Aceh,
sesampainya dihulu Sungai Dumai tepatnyadi Simpang Acak, dilihatnya Sungai
Dumai telah tertutup tanah liat menyerupai benteng, maka diperintahkanlah
pasukan Raja Aceh untuk mengamati keadaan ini dengan menaiki benteng tersebut.
Dari kejauhan dilihatnya sekelompok pasukan bala tentara Kerajaan Sri Bunga Tanjung
menuju benteng, maka segeralah pasukan pengintai Raja Aceh turun keperahu
memberitahukan Rajanya. Seketika itu juga diaturlah penyerangan pasukan Aceh
terhadap pasukan Kerajaan Sri Bunga Tanjung. Maka terjadilah pertempuran yang
sengit antara kedua pasukan ini.
Sementara itu raja Sri Bunga Tanjung menyadari bahwa
sebenarnya pasukannya tidaklah seimbang bila dibandingkan dengan pasukan Raja
Aceh, maka diperintahkanlah seorang suruhan kerajaan untuk menyampaikan berita
penyerangan pasukan Raja Aceh ini kepada saudara istrinya Siti Zaleha di
Simpang Kedondong, Pangkalan Sesai. Setelah menyampaikan berita ini segeralah
Siti Zaleha atau yang lebih dikenal “Tuk Kedondong” meminta bantuan
kepada asuhannya untuk turut membantu pasukan Kerajaan Sri Bunga Tanjung dan
menghentikan pertempuran itu, tiba-tiba pertempuran tanpa komando terhenti
seketika, karena salah seorang pasukan Raja Aceh memberitahukan kepada
pimpinan perang dan mengatakan bahwa, “Raja kita telah bersimbah darah didalam
perahu, kemungkinan raja kita telah wafat.” Sebelum wafat Raja Aceh bersumpah,
“Tidak akan selamat Kerajaan Sri Bunga Tanjung.” Maka segeralah pasukan Aceh
yang masih tersisa kembali keperahu, tetapi sampai diperahu dilihatnya rajanya
telah wafat tertusuk buah bungkat atau buah bakau yang masih kuncup dan
perahunya telah digenangi air, maka segeralah pasukan Aceh menurunkan
sampan tunda atau sekoci untuk kemudian memasukkan raja yang telah wafat
kedalam sampan tunda dan menuju kuala Suangai Mesjid tepatnya di Teluk Mas.
Sesampainya didaerah ini, mereka membuat bangsal, maka dimungkinkan asal mula
nama kelurahan “Bangsal Aceh” sekarang bermula dari pasukan Aceh yang
pernah berbangsal didaerah ini, disini pasukan Aceh menyiapkan keranda atau
peti jenazah untuk mengusung jenazah rajanya.
Keesokan harinya, pasukan Aceh dengan menggunakan
sampan tunda seadanya membawa jenazah rajanya kembali ke Aceh, hal ini sesuai
wasiatnya, jika ia wafat dimedan laga, agar membawa jenazahnya kekampung
halamannya di Aceh, akan tetapi karena beban yang berat sebelum meninggalkan
kuala Sungai Mesjid, pasukan Aceh menjatuhkan gong dan gendang didekat Tanjung
Penyembal, maka dimungkinkan pula asal mula nama kelurahan “Lubuk Gaung”
sekarang pun bermula dari peristiwa gong yang dijatuhkan didaerah ini menjadi
nama “Lubuk Gong” atau “Lubuk Gaung.”
Setelah pertempuran usai, teringatlah Raja Bakhrum
Alam Syah akan ketujuh puterinya yang disembunyikan di Parit Hukum dekat Teluk
Binjai yang dikawal oleh dua orang hulubalang beberarapa hari yang lalu. Maka
bersama-sama pasukan raja bermaksud menjemput ketujuh puterinya tersebut.
Tetapi betapa terkejutnya, sesampainya digua persembunyian ketujuh puteri itu
ternyata ketujuh puteri dan dua orang hulubalngnya telah wafat. Suasana duka
merundung keluarga Raja Sri Bunga Tanjung, kemudian akhirnya jenazah ketujuh
puteri yang terdiri dari tiga puteri kandung dan keempat dayang dan dua orang
hulubalang Kerajaan Sri BungaTanjung itu dimakamkan digua buatan tadi sehingga
kuburan ini disebut “Kuburan Panjang”. Lokasi Kuburan Panjang ini
sekarang terletak dikomplek kilang minyak Pertamina Unit Pengolahan II Dumai.
Mungkinkah kematian ketujuh puteri dan dua orang hulubalang ini merupakan buah
sumpah Raja Aceh yang wafat tertikan buah bungkat atau buah bakau? Wallahualam
Kesimpulan
Kisah ini menggambarkan keegoan sang penguasa, yang selalu menyampaikan permintaan yang harus dituruti semua orang, tidak terpenuhi permintaan selalu dendam dan permusuhan dan menggelar kekuatan dalam bentuk pertempuran, sikap ini masih terjadi di masyarakat kita hari ini dalam bentuk dan versi lain, sungguh sikap ini harus dihindari, karena merupakan sikap yang tidak terpuji.
0 komentar:
Posting Komentar