“Karena kamu yang aku tunggu..” kata itu menjadi kata yang paling berkesan yang pernah aku dengar. Bisa dibayangkan bagaimana tersanjungnya hati seorang cewek kalau dapet pujian seperti itu dari pacarnya. Dan aku hanya bisa tersenyum lebar dengan hati yang berbunga-bunga.
Kenangan-kenangan itu masih saja selalu bisa aku gambarkan dengan begitu sempurnanya. Meski mungkinuntuk sebagian orang, kenangan bersama mantan adalah hal yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Tapi ini beda, dia begitu spesial dimataku. Dia yang mengajarkan aku banyak hal. Banyak pelajaran baik sekaligus pelajaran buruk yang dia ajarkan padaku. Dia yang membuatku berubah, dandia pula yang membuatku menjadi diri yang lebih baik.
Semua berawal dari pertama kali kita bertemu dikelas, saat kelas 2 SMA. Kita sama-sama masuk kekelas IPA, kelas yang dianggap berisi semua siswa yangotaknya diatas rata-rata. Tapi kita juga sama-sama tidak diterima di universitas negeri manapun saat lulus SMA. Dan aku anggap ini takdir yang indah buatku, karena memang “love at the first sight” menimpaku saat itu.
Aku dilahirkan berbeda dengan yang lain. Tapi mungkinjika aku dilahirkan dibelahan dunia lain, aku akan sama. Tapi di sini khususnya di Karawang, salah satu kota di Indonesia, aku sangat berbeda.Mama menikah dengan bule Prancis dan hasilnya adalah aku. Aku yang kurasa begitu malang karena takdir membedakan aku dengan yang lain. Orang-orang yang pernah menjadi pacarku selalu menganggap aku cewek nakal yang bisa mereka atur sesukanya. Dan semua itu dikarenakan aku berbeda, mungkin mereka melihatku seperti artis-artis blue film yang ras kulitnya sama sepertiku.
Tapi dia, dia membuatku seolah menjadi orang yang sama seperti orang-orang disekitarku. Meskipun aku tahu sebelumnya dia bukan orang yang baik. Aku pernah melihatnya mabuk diwarung remang-remang didekat stasiun Klari. Tapi saat pertama kali dia mengatakan sayang padaku, saat itulah kehidupannya berubah.
Dia bilang, bersahabat denganku selama dua tahun ini membuatnya tersiksa. Dia bilang, aku tidak pernah mengerti perasaannya. Dia bilang,aku tidak peka terhadap perhatian-perhatiannya selama ini. Dan dia bilang, itulah sebabnya kenapa dia menjadi pribadi yang buruk. Padahal sesungguhnya aku tahu, aku merasakan, tapi aku malu untuk mengakui bahwaaku pun punya perasaan yang sama.
Kita sama-sama mendaftar disalah satu universitas di Karawang. Dia mengambil Ilmu Komunikasi sedangkan aku mengambil Pendidikan Bahasa Inggris. Saat itulah pertama kali dia dengan jujur menyampaikan perasaannya, saat kita di ospek hari pertama.
“Aku sayang kamu, dan itu dari dulu..” ucapnya sepulang ospek. Tanpa ragu aku mengiyakan saja.
Mulai saat itu dia berubah. Dulu dia lebih buruk dari aku, tapi kali ini dia yang selalu mengingatkan aku sholat dan dia yang memarahi aku kalau telat sholat. Dia yang mengingatkan aku untuk belajar. Dia yang mengajarkan aku saat aku kesusahan mengerjakan tugas kuliah, padahal prestasi dia di SMA dulu jauh dibawah aku. Dia yang bilang, “coba pake kerudung, jangan ngumbar aurat.” Dia yang bilang “sesekali telfon mama atau orang rumah, supaya mereka gak khawatir” karena aku ngekos. Dia yang menjagaku saat kita keluar di malam hari. Dia yang membela aku saat orang lain memusuhiku. Dia yang selalu bersedia mengantarku kemana saja. Dia yang pergi ke apotek saat aku sakit. Dia yang pergi ke warteg saat aku lapar. Dia yang selalu bilang “jangan sombong!” saat aku mulai besar kepala. Dia tempat bersandarku, yang selalu meminjamkan bahunya saat aku menangis.
Mungkin aku bisa menahan amarah didepan semua orang. Aku bisa menyembunyikan sedih, membenam rasa kecewaku, mengunci rapat rahasia, atau menghilangkan raut wajah tidak menyenangkan. Tapi didepan dia, aku menjadi diriku sendiri seutuhnya. Aku bisa marah didepannya, tapi dia akan diam sampai aku benar-benar mengeluarkan amarahku. Lalu aku akan duduk disebelahnya, menyandarkan kepalaku, menceritakan semua alasan kemarahan dan rasa kecewaku tanpa diminta. Dan akhirnya aku menangis, menangis sejadi-jadi dibahunya, menceritakan semua hal yang tidak bisa aku ceritakan pada orang selain dia. Dan setelah itu, dia akan memelukku. Tanpa kata. Dan aku menangis semakin keras dalam pelukannya. Selalu seperti itu, aku tidak pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Apapun.
Dan dia tidak sama dengan cowok lain yang pernah menjadi pacarku. Selama bersamanya dia tidak pernah berani mencium bibirku, apalagi lebih dari itu. Yang seringdia lakukan adalah mengenggam erat tanganku. Dan memelukku hanya saat aku menangis. Tidak pernah lebih. Dia memperlakukan aku seperti seorang ratu yang benar-benar harus dijaga dan diperlakukan dengan sangat sempurna. Dia membimbingku menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari aku yang dulu.
Dia..
Tuhan, sungguh aku menyayangi dia..
****
Hari ini, harusnya tepat 3 tahun kita jadian. Hari ini, seharusnya menjadi hari paling membahagiakan. Hari ini, jauh dari bayanganku sebelumnya. Aku hanya bisa menangis saat ini, tapi tidak seperti biasanya. Tidak ada dia disampingku. Tidak ada bahu yang dapat kupinjam.Tidak ada orang yang bisa aku marah-marahi. Tidak ada yang memelukku. Tidak ada yang menenangkan aku.
Hanya satu kesalahan, dan aku langsung menganggapnya buruk. Padahal dia selalu memaafkan semua salahku. Dia memaafkanku saat aku lupa akan janjiku, dia memaafkanku saat aku menomorsatukan teman-teman dari pada dia. Dia memaafkan aku saat aku membatalkan janji demi pergi dengan orang lain. Bahkan dia memaafkan aku saat aku menduakannya. Dia sabar saat aku selalu merengek manja. Dia tetap diam saat aku mencakarnya. Dan dia tidak pernah sekalipun membalas semua perlakuan burukku padanya.
Tapi karena satu kesalahannya saja, aku lantas meninggalkan dia. Padahal sesungguhnya semua berawal dari kesalahanku sendiri.
“Yank, aku sedih..” ucapnya malam itu ditelepon.
“Sedih kenapa yank?” tanyaku, tapi sebelum dia menjawab aku melanjutkan ucapanku, “yank, bantuin ngerjain tugas statistik donk..”
“Iya..”
“Kok gitu banget si jawabnya? Kalo ngga mau bantuin jangan maksain yank!” nada suaraku meninggi.
Tidak ada jawaban.
“Yank..?” panggilku.
Dia diam.
Tiga kali aku memanggil, dan dia tetap diam. Aku menutup telepon dengan kesal.
****
Keesokan harinya, tidak sengaja aku melihat dia bersama Diandra, sahabatnya, di Karang Pawitan. Padahal dia janji hari itu akan mengantarku mencari buku di Salemba. Diandra memeluk bahunya, mengusap-usapnya. Dan kemudian Diandra mencium keningnya.
Amarahku meluap tiba-tiba. Aku tahu Diandra suka padanya dari dulu. Aku tahu Diandra memusuhiku karena dia lebih memilihku daripada dia. Dan aku tahu, Diandra masih mengharapkannya. Segera aku menghampiri mereka. Berdiri tepat di depan mereka yang terlihat kaget.
“Makasih buat semuanya!” ucapku pelan. Lalu segera aku meninggalkan mereka.
Aku mengganti nomor ponsel. Aku pindah kos. Aku memutuskan semua aksesnya untuk bertemu denganku. Aku meminta teman-teman agar tidak memberitahu keadaanku padanya. Walaupun satu kampus, dia tidak bisa menemukan aku. Dan selama setengah tahun aku tidak lagi berhubungan dengannya.
****
Sampai akhirnya, seminggu yang lalu secara tidak sengaja aku bertemu Diandra di Holland Bakery. Dia yang pertama kali melihatku sehingga aku tidak bisa kabur darinya. Dia menggenggam erat tanganku, mencegahku agar tidak pergi.
“Fia, ada banyak hal yang harus lo tahu!” ucapnya keras padaku.
“Apalagi?” tanyaku dengan nada menantang. Lalu dia menarikku keluar.
“Semuanya nggak seperti yang lo kira!”
Aku memalingkan wajah, “Selingkuh aja sana!” geramku.
“Iya, gue emang suka sama Harry. Tapi kejadian di Karang Pawitan itu bukan berarti Harry selingkuh sama gue. Dia cerita kalo mamanya meninggal!”
Dengan pandangan terkejut aku menatap Diandra.
“Kenapa? Lo nggak tahu itu kan? Lo terlalu menjajah Harry, padahal Harry tulus sama lo. Dia selalu dengerin semua kekesalan lo, kesedihan lo, dan semua amarah lo! Tapi elo? Saat Harry pengen cerita, lo malah sibuk dengan diri lo sendiri! Lo egois! Lo gak pernah mikirin perasaan Harry. Dia cerita sama gue karena dia gak bisa cerita sama lo. Dia nggak mau bikin lo ikut sedih, dia nggak mau merusak keceriaan lo…”
“Tapi lo cium kening dia!!” sergahku dengan mata yang mulai berlinang.
“Iya! Trus kenapa? Lo cemburu? Apa Harry pernah marah sama lo? Bahkan saat lo selingkuh sama Ryan, apa dia mutusin lo? Ato apa dia mutusin komunikasi sama lo? Gue sengaja cium kening dia karena gue tahu lo liat kita berdua waktu itu! Gue pengen nyadarin Harry kalo lo itu nothing! Lo cuma jadiin dia pelampiasan semua amarah lo. Lo cuman ngejajah dia, jadiin dia pembantu!!” Diandra menghela nafas, mungkin meredam amarahnya.
“Tapi gue salah, Fi! Harry terlalu sayang sama lo. Selama ini dia berusaha nyari lo buat ngejelasin semuanya. Padahal keadaan dia benar-benar drop waktu itu. Nyokapnya meninggal dan lo malah ninggalin dia. Boro-boro dapet perhatian dari lo, dapet ucapan belasungkawa aja nggak! Dan lo tau apa yang selama ini terjadi? Dia nyari lo kemana-mana. Dia nanyain lo ke semua temen-temen lo. Tapi temen-temen lo gak ada satu pun yang ngasih tahu. Dia ke kosan lo, tapi yang dia temuin cuma ruangan kosong. Dia linglung tanpa lo, Fi!!”
Entah kapan aku mengundang airmata, dia datang begitu saja. Membasahi pipiku. Membuat bibirku tidak bisa mengatakan apapun. Aku benar-benar terkejut. Aku benar-benar stuck. Aku menyesal. Aku marah. Dan aku kecewa pada diriku sendiri.
“Udah hampir sebulan dia nggak masuk kuliah” Diandra melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
“Hampir sebulan yang lalu, dia dapet info dari temen lo, temen lo bilang lo lagi ada di Telaga Desa. Harry cepet-cepet ngambil motor buat nyamperin lo. Tapi di Galuh Mas, dia kecelakaan. Dua minggu dia dirawat dirumah sakit. Sekarang dia dirumahnya, tapi…”
“Gue kerumah dia sekarang!” sergahku memotong ucapan Diandra. Lalu bergegas mengambil motorku menuju rumah Harry.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menghentikan air yang terus keluar dari mataku dan mengalir deras membasahi pipi. Aku kalut, aku tidak bisa berfikir jernih. Amarah membuatku sesak. Paru-paruku serasa ditimbun berat barang ratusan ton. Sesak.
Dirumah Harry. Kudapati dia berbaring diruang tamu. Matanya terpejam, tangannya memegang dada. Sosok yang hampir aku lupakan itu membuatku miris. Ditangannya, ku lihat bekas luka yang lebar. Rumahnya sepi.
Aku ingat kembali cerita Harry., bahwa ayahnya meninggal saat dia kelas satu SD. Bahwa dia tinggal hanya bersama ibunya. Bahwa dia hanya anak tunggal. Bahwa dia tidak punya siapapun lagi selain ibunya. Bahwa dia akan selalu berusaha membahagiakan ibunya. Bahwa seluruh hidupnya akan dia serahkan untuk ibunya. Bahwa aku adalah nomor tiga, setelah Allah dan Ibunya. Tapi saat ini, setelah Ibunya meninggal, setelah aku pun ikut meninggalkannya, kudapati dia tanpa daya. Tubuhnya kurus, nafasnya tersenggal.
Ku hampiri Harry. Ku sentuh tangannya. Harry terkejut, dia bangun dengan tatapan yang seolah tak percaya.
“Harry…” ucapku pelan.
Harry tak menjawab apapun. Dia hanya menatapku lekat. Lalu aku duduk disebelahnya.
“Harry..” ucapku lagi.
Perlahan tangan Harry meraih tanganku, menggenggamnya erat. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia menundukkan kepalanya, lalu membenamkan wajahnya di pelukanku. Dia menangis.
Tuhan, untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis. Sejahat itukah aku, Tuhan? Dia adalah orang yang tangguh. Sebelumnya tak ada satu masalah pun yang bisa membuatnya mengeluarkan airmata. Tak ada satu hal pun yang bisa membuat dia terlihat serapuh ini. Kenapa aku begitu tega memberikan suatu hal yang sangat menyakitinya. Kenapa aku begitu tega membuat dia kehilangan kekuatannya.
“Harry…” sekali lagi kupanggil namanya. Aku tidak tahu harus mengucapkan apalagi. Hanya namanya yang keluar dari mulutku.
“Aku ngerasa salah banget waktu itu..” ucap Harry. Aku kembali mengingat kejadian di Karang Pawitan. Mungkin itu sebabnya Harry tidak lantas membiarkan aku pergi setelah aku meninggalkannya. Dan itu sebabnya dia selalu mencariku meskipun aku memutuskan semua akses dan komunikasiku dengannya. Karena dia merasa bersalah, telah menceritakan semuanya pada Diandra. Kali ini aku tidak marah, aku sadar bahwa semua kejadian itu terjadi juga berawal dari keegoisanku.
Harry berbaring disampingku. Diandra melihatnya sambil tersenyum.
“Maafin gue juga ya, Fi..” ucapnya.
Lalu aku mengangguk.
Lama kita bertiga terdiam diruang tamu rumah Harry. Kuperhatikan orang yang tertidur disampingku. Orang yang hingga saat ini masih aku sayangi. Meski hingga saat ini belum ada kata “come back” diantara kita. Harry masih sakit, aku tidak mungkin menodong dia dengan pertanyaan “kita jadian lagi kan?” padahal dulu aku sendiri yang dengan tega meninggalkan dia.
Tangan Harry bergerak dan berhenti diatas dadanya. Dia meremas bajunya. Dia tampak sedang menahan sakit. Kata Diandra, ada tulang rusuk Harry yang retak. Pasti Harry sangat kesakitan. Seandainya aku bisa menukar posisi, aku ingin menggantikan dia untuk menahan rasa sakitnya itu. Aku rela bertukar tempat dan menjadi dia hingga dia sembuh. Aku tidak ingin melihatnya tersakiti seperti ini. Aku sayang dia, seperti dia menyayangiku. Aku menempatkan dia dinomor tiga setelah Allah dan kedua orangtuaku, seperti dia menempatkan aku di posisi yang sama dalam hidupnya.
Tatapanku terfokus pada wajah pucatnya. Tanpa aku sadar genggaman tangan yang meremas bajunya melemah. Tanpa kusadari, matanya tidak lagi terbuka. Dan tanpa kusadari, detak jantungnya menghilang. Hingga Diandra secara tiba-tiba merengkuh tubuh Harry. Mengguncangnya dengan tidak karuan. Aku panik. Disisinya aku meraung, berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi entah, matanya tidak lagi terbuka.
Cukupkah kata maafku ini, Harry? Cukupkah aku yang hanya bisa menangis saat kamu pergi? Inikah karma yang harus ku terima? Kini kamu yang meninggalkan aku dengan begitu teganya.
**** TAMAT****
Kenangan-kenangan itu masih saja selalu bisa aku gambarkan dengan begitu sempurnanya. Meski mungkinuntuk sebagian orang, kenangan bersama mantan adalah hal yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Tapi ini beda, dia begitu spesial dimataku. Dia yang mengajarkan aku banyak hal. Banyak pelajaran baik sekaligus pelajaran buruk yang dia ajarkan padaku. Dia yang membuatku berubah, dandia pula yang membuatku menjadi diri yang lebih baik.
Semua berawal dari pertama kali kita bertemu dikelas, saat kelas 2 SMA. Kita sama-sama masuk kekelas IPA, kelas yang dianggap berisi semua siswa yangotaknya diatas rata-rata. Tapi kita juga sama-sama tidak diterima di universitas negeri manapun saat lulus SMA. Dan aku anggap ini takdir yang indah buatku, karena memang “love at the first sight” menimpaku saat itu.
Aku dilahirkan berbeda dengan yang lain. Tapi mungkinjika aku dilahirkan dibelahan dunia lain, aku akan sama. Tapi di sini khususnya di Karawang, salah satu kota di Indonesia, aku sangat berbeda.Mama menikah dengan bule Prancis dan hasilnya adalah aku. Aku yang kurasa begitu malang karena takdir membedakan aku dengan yang lain. Orang-orang yang pernah menjadi pacarku selalu menganggap aku cewek nakal yang bisa mereka atur sesukanya. Dan semua itu dikarenakan aku berbeda, mungkin mereka melihatku seperti artis-artis blue film yang ras kulitnya sama sepertiku.
Tapi dia, dia membuatku seolah menjadi orang yang sama seperti orang-orang disekitarku. Meskipun aku tahu sebelumnya dia bukan orang yang baik. Aku pernah melihatnya mabuk diwarung remang-remang didekat stasiun Klari. Tapi saat pertama kali dia mengatakan sayang padaku, saat itulah kehidupannya berubah.
Dia bilang, bersahabat denganku selama dua tahun ini membuatnya tersiksa. Dia bilang, aku tidak pernah mengerti perasaannya. Dia bilang,aku tidak peka terhadap perhatian-perhatiannya selama ini. Dan dia bilang, itulah sebabnya kenapa dia menjadi pribadi yang buruk. Padahal sesungguhnya aku tahu, aku merasakan, tapi aku malu untuk mengakui bahwaaku pun punya perasaan yang sama.
Kita sama-sama mendaftar disalah satu universitas di Karawang. Dia mengambil Ilmu Komunikasi sedangkan aku mengambil Pendidikan Bahasa Inggris. Saat itulah pertama kali dia dengan jujur menyampaikan perasaannya, saat kita di ospek hari pertama.
“Aku sayang kamu, dan itu dari dulu..” ucapnya sepulang ospek. Tanpa ragu aku mengiyakan saja.
Mulai saat itu dia berubah. Dulu dia lebih buruk dari aku, tapi kali ini dia yang selalu mengingatkan aku sholat dan dia yang memarahi aku kalau telat sholat. Dia yang mengingatkan aku untuk belajar. Dia yang mengajarkan aku saat aku kesusahan mengerjakan tugas kuliah, padahal prestasi dia di SMA dulu jauh dibawah aku. Dia yang bilang, “coba pake kerudung, jangan ngumbar aurat.” Dia yang bilang “sesekali telfon mama atau orang rumah, supaya mereka gak khawatir” karena aku ngekos. Dia yang menjagaku saat kita keluar di malam hari. Dia yang membela aku saat orang lain memusuhiku. Dia yang selalu bersedia mengantarku kemana saja. Dia yang pergi ke apotek saat aku sakit. Dia yang pergi ke warteg saat aku lapar. Dia yang selalu bilang “jangan sombong!” saat aku mulai besar kepala. Dia tempat bersandarku, yang selalu meminjamkan bahunya saat aku menangis.
Mungkin aku bisa menahan amarah didepan semua orang. Aku bisa menyembunyikan sedih, membenam rasa kecewaku, mengunci rapat rahasia, atau menghilangkan raut wajah tidak menyenangkan. Tapi didepan dia, aku menjadi diriku sendiri seutuhnya. Aku bisa marah didepannya, tapi dia akan diam sampai aku benar-benar mengeluarkan amarahku. Lalu aku akan duduk disebelahnya, menyandarkan kepalaku, menceritakan semua alasan kemarahan dan rasa kecewaku tanpa diminta. Dan akhirnya aku menangis, menangis sejadi-jadi dibahunya, menceritakan semua hal yang tidak bisa aku ceritakan pada orang selain dia. Dan setelah itu, dia akan memelukku. Tanpa kata. Dan aku menangis semakin keras dalam pelukannya. Selalu seperti itu, aku tidak pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Apapun.
Dan dia tidak sama dengan cowok lain yang pernah menjadi pacarku. Selama bersamanya dia tidak pernah berani mencium bibirku, apalagi lebih dari itu. Yang seringdia lakukan adalah mengenggam erat tanganku. Dan memelukku hanya saat aku menangis. Tidak pernah lebih. Dia memperlakukan aku seperti seorang ratu yang benar-benar harus dijaga dan diperlakukan dengan sangat sempurna. Dia membimbingku menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari aku yang dulu.
Dia..
Tuhan, sungguh aku menyayangi dia..
****
Hari ini, harusnya tepat 3 tahun kita jadian. Hari ini, seharusnya menjadi hari paling membahagiakan. Hari ini, jauh dari bayanganku sebelumnya. Aku hanya bisa menangis saat ini, tapi tidak seperti biasanya. Tidak ada dia disampingku. Tidak ada bahu yang dapat kupinjam.Tidak ada orang yang bisa aku marah-marahi. Tidak ada yang memelukku. Tidak ada yang menenangkan aku.
Hanya satu kesalahan, dan aku langsung menganggapnya buruk. Padahal dia selalu memaafkan semua salahku. Dia memaafkanku saat aku lupa akan janjiku, dia memaafkanku saat aku menomorsatukan teman-teman dari pada dia. Dia memaafkan aku saat aku membatalkan janji demi pergi dengan orang lain. Bahkan dia memaafkan aku saat aku menduakannya. Dia sabar saat aku selalu merengek manja. Dia tetap diam saat aku mencakarnya. Dan dia tidak pernah sekalipun membalas semua perlakuan burukku padanya.
Tapi karena satu kesalahannya saja, aku lantas meninggalkan dia. Padahal sesungguhnya semua berawal dari kesalahanku sendiri.
“Yank, aku sedih..” ucapnya malam itu ditelepon.
“Sedih kenapa yank?” tanyaku, tapi sebelum dia menjawab aku melanjutkan ucapanku, “yank, bantuin ngerjain tugas statistik donk..”
“Iya..”
“Kok gitu banget si jawabnya? Kalo ngga mau bantuin jangan maksain yank!” nada suaraku meninggi.
Tidak ada jawaban.
“Yank..?” panggilku.
Dia diam.
Tiga kali aku memanggil, dan dia tetap diam. Aku menutup telepon dengan kesal.
****
Keesokan harinya, tidak sengaja aku melihat dia bersama Diandra, sahabatnya, di Karang Pawitan. Padahal dia janji hari itu akan mengantarku mencari buku di Salemba. Diandra memeluk bahunya, mengusap-usapnya. Dan kemudian Diandra mencium keningnya.
Amarahku meluap tiba-tiba. Aku tahu Diandra suka padanya dari dulu. Aku tahu Diandra memusuhiku karena dia lebih memilihku daripada dia. Dan aku tahu, Diandra masih mengharapkannya. Segera aku menghampiri mereka. Berdiri tepat di depan mereka yang terlihat kaget.
“Makasih buat semuanya!” ucapku pelan. Lalu segera aku meninggalkan mereka.
Aku mengganti nomor ponsel. Aku pindah kos. Aku memutuskan semua aksesnya untuk bertemu denganku. Aku meminta teman-teman agar tidak memberitahu keadaanku padanya. Walaupun satu kampus, dia tidak bisa menemukan aku. Dan selama setengah tahun aku tidak lagi berhubungan dengannya.
****
Sampai akhirnya, seminggu yang lalu secara tidak sengaja aku bertemu Diandra di Holland Bakery. Dia yang pertama kali melihatku sehingga aku tidak bisa kabur darinya. Dia menggenggam erat tanganku, mencegahku agar tidak pergi.
“Fia, ada banyak hal yang harus lo tahu!” ucapnya keras padaku.
“Apalagi?” tanyaku dengan nada menantang. Lalu dia menarikku keluar.
“Semuanya nggak seperti yang lo kira!”
Aku memalingkan wajah, “Selingkuh aja sana!” geramku.
“Iya, gue emang suka sama Harry. Tapi kejadian di Karang Pawitan itu bukan berarti Harry selingkuh sama gue. Dia cerita kalo mamanya meninggal!”
Dengan pandangan terkejut aku menatap Diandra.
“Kenapa? Lo nggak tahu itu kan? Lo terlalu menjajah Harry, padahal Harry tulus sama lo. Dia selalu dengerin semua kekesalan lo, kesedihan lo, dan semua amarah lo! Tapi elo? Saat Harry pengen cerita, lo malah sibuk dengan diri lo sendiri! Lo egois! Lo gak pernah mikirin perasaan Harry. Dia cerita sama gue karena dia gak bisa cerita sama lo. Dia nggak mau bikin lo ikut sedih, dia nggak mau merusak keceriaan lo…”
“Tapi lo cium kening dia!!” sergahku dengan mata yang mulai berlinang.
“Iya! Trus kenapa? Lo cemburu? Apa Harry pernah marah sama lo? Bahkan saat lo selingkuh sama Ryan, apa dia mutusin lo? Ato apa dia mutusin komunikasi sama lo? Gue sengaja cium kening dia karena gue tahu lo liat kita berdua waktu itu! Gue pengen nyadarin Harry kalo lo itu nothing! Lo cuma jadiin dia pelampiasan semua amarah lo. Lo cuman ngejajah dia, jadiin dia pembantu!!” Diandra menghela nafas, mungkin meredam amarahnya.
“Tapi gue salah, Fi! Harry terlalu sayang sama lo. Selama ini dia berusaha nyari lo buat ngejelasin semuanya. Padahal keadaan dia benar-benar drop waktu itu. Nyokapnya meninggal dan lo malah ninggalin dia. Boro-boro dapet perhatian dari lo, dapet ucapan belasungkawa aja nggak! Dan lo tau apa yang selama ini terjadi? Dia nyari lo kemana-mana. Dia nanyain lo ke semua temen-temen lo. Tapi temen-temen lo gak ada satu pun yang ngasih tahu. Dia ke kosan lo, tapi yang dia temuin cuma ruangan kosong. Dia linglung tanpa lo, Fi!!”
Entah kapan aku mengundang airmata, dia datang begitu saja. Membasahi pipiku. Membuat bibirku tidak bisa mengatakan apapun. Aku benar-benar terkejut. Aku benar-benar stuck. Aku menyesal. Aku marah. Dan aku kecewa pada diriku sendiri.
“Udah hampir sebulan dia nggak masuk kuliah” Diandra melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
“Hampir sebulan yang lalu, dia dapet info dari temen lo, temen lo bilang lo lagi ada di Telaga Desa. Harry cepet-cepet ngambil motor buat nyamperin lo. Tapi di Galuh Mas, dia kecelakaan. Dua minggu dia dirawat dirumah sakit. Sekarang dia dirumahnya, tapi…”
“Gue kerumah dia sekarang!” sergahku memotong ucapan Diandra. Lalu bergegas mengambil motorku menuju rumah Harry.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menghentikan air yang terus keluar dari mataku dan mengalir deras membasahi pipi. Aku kalut, aku tidak bisa berfikir jernih. Amarah membuatku sesak. Paru-paruku serasa ditimbun berat barang ratusan ton. Sesak.
Dirumah Harry. Kudapati dia berbaring diruang tamu. Matanya terpejam, tangannya memegang dada. Sosok yang hampir aku lupakan itu membuatku miris. Ditangannya, ku lihat bekas luka yang lebar. Rumahnya sepi.
Aku ingat kembali cerita Harry., bahwa ayahnya meninggal saat dia kelas satu SD. Bahwa dia tinggal hanya bersama ibunya. Bahwa dia hanya anak tunggal. Bahwa dia tidak punya siapapun lagi selain ibunya. Bahwa dia akan selalu berusaha membahagiakan ibunya. Bahwa seluruh hidupnya akan dia serahkan untuk ibunya. Bahwa aku adalah nomor tiga, setelah Allah dan Ibunya. Tapi saat ini, setelah Ibunya meninggal, setelah aku pun ikut meninggalkannya, kudapati dia tanpa daya. Tubuhnya kurus, nafasnya tersenggal.
Ku hampiri Harry. Ku sentuh tangannya. Harry terkejut, dia bangun dengan tatapan yang seolah tak percaya.
“Harry…” ucapku pelan.
Harry tak menjawab apapun. Dia hanya menatapku lekat. Lalu aku duduk disebelahnya.
“Harry..” ucapku lagi.
Perlahan tangan Harry meraih tanganku, menggenggamnya erat. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia menundukkan kepalanya, lalu membenamkan wajahnya di pelukanku. Dia menangis.
Tuhan, untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis. Sejahat itukah aku, Tuhan? Dia adalah orang yang tangguh. Sebelumnya tak ada satu masalah pun yang bisa membuatnya mengeluarkan airmata. Tak ada satu hal pun yang bisa membuat dia terlihat serapuh ini. Kenapa aku begitu tega memberikan suatu hal yang sangat menyakitinya. Kenapa aku begitu tega membuat dia kehilangan kekuatannya.
“Harry…” sekali lagi kupanggil namanya. Aku tidak tahu harus mengucapkan apalagi. Hanya namanya yang keluar dari mulutku.
“Aku ngerasa salah banget waktu itu..” ucap Harry. Aku kembali mengingat kejadian di Karang Pawitan. Mungkin itu sebabnya Harry tidak lantas membiarkan aku pergi setelah aku meninggalkannya. Dan itu sebabnya dia selalu mencariku meskipun aku memutuskan semua akses dan komunikasiku dengannya. Karena dia merasa bersalah, telah menceritakan semuanya pada Diandra. Kali ini aku tidak marah, aku sadar bahwa semua kejadian itu terjadi juga berawal dari keegoisanku.
Harry berbaring disampingku. Diandra melihatnya sambil tersenyum.
“Maafin gue juga ya, Fi..” ucapnya.
Lalu aku mengangguk.
Lama kita bertiga terdiam diruang tamu rumah Harry. Kuperhatikan orang yang tertidur disampingku. Orang yang hingga saat ini masih aku sayangi. Meski hingga saat ini belum ada kata “come back” diantara kita. Harry masih sakit, aku tidak mungkin menodong dia dengan pertanyaan “kita jadian lagi kan?” padahal dulu aku sendiri yang dengan tega meninggalkan dia.
Tangan Harry bergerak dan berhenti diatas dadanya. Dia meremas bajunya. Dia tampak sedang menahan sakit. Kata Diandra, ada tulang rusuk Harry yang retak. Pasti Harry sangat kesakitan. Seandainya aku bisa menukar posisi, aku ingin menggantikan dia untuk menahan rasa sakitnya itu. Aku rela bertukar tempat dan menjadi dia hingga dia sembuh. Aku tidak ingin melihatnya tersakiti seperti ini. Aku sayang dia, seperti dia menyayangiku. Aku menempatkan dia dinomor tiga setelah Allah dan kedua orangtuaku, seperti dia menempatkan aku di posisi yang sama dalam hidupnya.
Tatapanku terfokus pada wajah pucatnya. Tanpa aku sadar genggaman tangan yang meremas bajunya melemah. Tanpa kusadari, matanya tidak lagi terbuka. Dan tanpa kusadari, detak jantungnya menghilang. Hingga Diandra secara tiba-tiba merengkuh tubuh Harry. Mengguncangnya dengan tidak karuan. Aku panik. Disisinya aku meraung, berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi entah, matanya tidak lagi terbuka.
Cukupkah kata maafku ini, Harry? Cukupkah aku yang hanya bisa menangis saat kamu pergi? Inikah karma yang harus ku terima? Kini kamu yang meninggalkan aku dengan begitu teganya.
**** TAMAT****
Karangan:
Isan Widaningsih
http://cerpenmu.com/cerpen-penyesalan/cukupkah-kata-maafku-ini.html
0 komentar:
Posting Komentar