Sebuah cinta yang sangat rumit dimana semua merasa bersalah, dan harus merelakan orang yang dicintainya, kini mereka tak dapat lagi memilih karena semua pilihan akan tetap menyakiti satu sama lain. Hidup memang rumit membutuhkan pilihan yang tepat untuk menjalani masa depan.
Angin menari-nari indah diudara tapi sayang tariannya tak mampu mencairkan ketegangan ditaman belakang sebuah sekolah SMA. Tampak dua orang laki-laki dengan wajah tegang dan seorang wanita sedang menangis.
“Din, please kasih aku kepastian. Aku bisa mengerti keadaan kamu tapi bagaimana dengan orangtua kita,” kata salah seorang laki-laki yang diketahui bernama Dimas.
“Aku gak tahu, Mas, intinya aku sayang sama kamu,” kata wanita itu masih terus menangis dipelukan laki-laki bernama Dimas.
“Dinda, aku mau ngomong sama kamu sebentar,” kata laki-laki yang sejak tadi hanya terdiam sambil memberi isyarat pada Dimas, Dimas pun mengiyakan dan melepas pelukan Dinda. Mereka berjalan menjauh dari Dimas.
“Kamu sayang sama Dimas?” kata Rafael lembut tetapi masih tetap dengan cemas, “iya, ka,” jawab Dinda sesenggukan.
Pedih itulah yang dirasakan semua diantara mereka. Mungkin tak ada lagi yang dapat mereka rasakan selain ketegangan, kecemasan, kekhawatiran dan yang pasti kesedihan.
“Din kamu seharusnya sadar, kamu dan Dimas itu punya hubungan darah,” DEG! Dinda merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Cukup, Kak! Itu urusan aku dan Dimas dan ini bukan urusan kakak. Aku tahu cinta ini gak seharusnya tumbuh, tapi aku gak bisa bohongin perasaan aku,” tangis Dinda lagi-lagi pecah, lututnya seakan-akan tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya dia pun terduduk dihadapan Rafael.
“Hhh..” Rafael menarik nafas panjang berusaha membuang semua beban yang menyesakkan dada.
TEEEET TTEEET.... Diwaktu yang bersamaan bel pun berbunyi. Rafael mengulurkan tangannya mencoba membantu Dinda agar ia berdiri, “Bel istirahat usai, Din, ayo bangun dan segera masuk kelas, nanti kakak jemput kamu setelah kamu pulang, kita bicarakan ini baik-baik,” perintah Rafael. Dinda tak bergeming.
Rafael pun lagi-lagi memberi isyarat pada Dimas agar membawa Dinda kekelasnya. Dimas mengerti ia pun mendekati Dinda dan membantunya berjalan. “Dim, gue balik, jam 12, nanti gua jemput lo sama Dinda digerbang sekolah kita omongin semuanya baik-baik,” kata Rafael lalu pergi meninggalkan halaman belakang SMA Negeri ini.
Cinta.... tak tahu asalnya darimana dan entah siapayang akan dituju, tetapi ketika panah cupid telah menembus jantung parapecinta yang telah terpanah, hati pikiran dan jiwanya telah ditutupi oleh kabut cinta yang membuat mereka buta, gila, bodoh dan bahkan kematian akan bisa menjadi sahabat bagi para pecinta ketika cintanya tak dapat diraih.
Dimas masih setia membantu Dinda berjalan untuk kembali kekelasnya namun pada saat sampai dikelas, pikiran Dimas berkata lain. Dimas ingin semuanya cepat selesai ia ingin mengakhiri semuanya dengan damai.
Sesampainya dikelas Dinda, Dimas dengan segera mengambil tas Dinda. Setelah itu Dimas pun beralih ke kelasnya dan mengambil tas miliknya. Dalam keadaan itu, Dimas terus menarik Dinda agar Dinda ikut dengannya, “Dim, kita mau kemana?” kata Dinda masih terus berusaha mengimbangi langkah Dimas.
“Kita cabut.”
“Tapi, Dim, hari ini aku ulangan Fisika.”
“Ikut ulangan susulan,” Dimas masih terus berjalan tanpa memperdulikan Dinda yang terengah-engah menyeimbangi langkahnya.
Saat ini Dimas memang benar-benar diberi pilihan yang sangat sulit hingga ia sudah tak mempedulikan kelembutan untuk seorang wanita yang sangat dicinta dan mencintainya.
Akhirnya Dimas pun melajukan motornya kesebuah danau yang terlihat sepi dan jauh dari keramaian. Saatsampai, Dimas turun dari motornya lalu melangkahkan kakinya mendekati sebuah pohon rindang tepat dihadapan Danau.
“Hidup memang teka-teki selalu penuh dengan tanya dan pilihan, dimana kita yang diberi pilihan harus memilih diantaranya sebagai jawaban dari pertanyaan, tapi satu yang harus selalu diperhatikan, "Kebenaran", apakah pilihan kita benar atau bahkan sangat jauh dari kebenaran walaupun disetiap pilihan baik itu benar atau salah pasti memiliki konsekuensi,” sambil menyapu pandang danau yang begitu tenang, Dimas berkata pada Dinda yang membuat Dinda tak mengerti akan perkataan Dimas.
“Maksud kamu apa, Dim?” Dimas melirik sekilas Dinda.
“Ya, saat ini kita sedang diberi teka-teki dimana kamu dan aku harus memilih.”
“Lalu, apa isi dari pilihan itu untuk aku?”
“Yang pertama adalah menuruti ego kita lalu kau dan aku pergi merajut Cinta Terlarang kita dan membuat secercah kebahagiaan dikehidupan kita agar cinta kita dapat disatukan, yang kedua adalah mencoba memahami keadaan dan menerimanya kau akan tetap hidup bahagia dengan keluargamu dan aku pun bahagia dengan keluargaku lalu kita memilih cinta masing-masing dan melupakan cinta kita,” sekarang Dimas beralih pandang pada Dinda yang saat ini tersenyum namun sayang hanya senyum kekecewaan yang tampak dari bibir cherrynya.
“Aku tidak akan memilih keduanya,” air mata Dinda kembali jatuh dari telaga matanya.
“Kau harus memilih, Dinda. Karena pilihanmu akan menentukan nasib kita,” Dimas kini memegang kedua pipi Dinda dan mencoba menghapus air matanya, ia sekarang benar-benar tak tega melihat orang yang sangat disayanginya menderita seperti ini harus terus menerus tertekan oleh pilihan yang ada. Hanya pelukan hangat yang bisa diberikan Dimas saat ini untuk Dinda, tapi sayang kehangatan ditubuh Dimas kini tak dapat lagi menghilangkan kegundahan dihati Dinda.
“Dim, please kasih aku kesempatan untuk mencintai kamu menyayangi kamu dan membahagiakan kamu. Aku mau bahagia sama kamu, sama keluarga kita nanti,” Dinda menangis dipelukan Dimas, ini merupakan tangisan paling menyakitkan dihidup Dimas begitu menyesakkan dihatinya bahkan mungkin siapa saja yang mendengar tangisan gadis manis ini orang yang mendengar akan ikut menangis.
“Kamu gak perlu kesempatan untuk membahagiakan aku, Din, karena kamu itu kebahagiaan aku, cukup melihat kamu tersenyum itu udah lebih dari cukup buat aku. Tapi sayang keadaan berkata lain, kita dilahirkan sebagai orang yang memiliki hubungan darah dan saat ini kita sedang benar-benar menantang nasib. Apa jadinya perasaan papaku dan mama kamu kalau tahu hubungan kita? Aku yakin mereka akan sangat-sangat kecewa kalau tahu hubungan ini, dan penderitaan sedang menunggu kita, jika kita tak mengakhiri hubungan ini,” air mata Dinda kini semakin deras membasahi baju Dimas. Angin danau kini ikut menemani mereka, berhembus menerpa anak-anak rambut.
“Aku berharap kamu akan memilih pilihan yang kedua, bukan karena aku tak ingin bersamamu tapi inilah hidup, dan inilah kenyataannya sekuat apapun kau berlari untuk menghindarinya kau akan tetap bertemu pada kenyataan, ingat, Din, kenyataan itu bukan mimpi yang bisa sesuka hati kita rangkai agar menjadi apa yang kita inginkan,” Dinda tercekat mendengar penuturan Dimas, kini dadanya seperti ditiban batu yang beratnya mencapai puluhan ton. Sesak.
“Dim, please. Aku sayang sama kamu,” suaranya bergetar menahan tangis yang sudah pecah itu.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dimas, hanya pelukan hangat yang bisa diberikan pada Dinda berharap menularkan energi positifnya pada Dinda.
“Apa yang harus aku lakukan, Dim?” tanya Dinda menatap mata Dimas yang telah menampakkan gurat kelelahan diwajahnya.
“Akhiri hubungan kita,” ucap Dimas singkat dan tegas.
DEG.... lagi-lagi Dinda merasakan jantungnya yang tiba-tiba seakan berhenti berdetak, ia menggigit bibir bawahnya untuk melampiaskan segala kemarahannya hari ini.
“Kamu tega ninggalin aku?” sebuah kalimat terlontar dari mulut Dinda yang membuat Dimas tergelak. Dimas mencoba menetralisir keadaan yang mulai memanas.
“Kamu percaya sama aku?” tanya Dimas yang dijawab anggukan oleh Dinda.
“Jika kamu percaya seharusnya kamu juga yakin, pilihan aku adalah pilihan yang terbaik.”
Dinda kembali menangis menelungkupkan kedua tangannya diwajahnya, menahan setiap kekecewaan yang hadir disetiap perkataan Dimas yang menyesakkan dada. Dimas meraih tangan Dinda dan menghapus air mata Dinda.
“Udah.... cukup, Din, jangan nangis lagi, denger kamu nangis tuh sama aja kamu nyakitin perasaan aku,” kata Dimas membingkai wajah Dinda.
“Aku gak mau pisah sama kamu,” lirih Dinda.
“Jangan memaksakan ego kamu, Din, udah seharusnya kamu mikirin keadaan dan orang-orang disekeliling kamu,” Ucap Dimas bijak.
“Kamu mau janji, jangan pernah hapus aku dari memori kamu?”
Dimas tersenyum mendengar ucapan Dinda, “Gak akan pernah,” kata Dimas mantap dan segera menarik Dinda dalam pelukannya.
Entah apa yang saat ini harus mereka rasakan. Haruskah mereka bersedih karena perpisahan mereka? Atau haruskah mereka bahagia karena berhasil menemukan titik terang? Hanya diri mereka yang dapat menjawab itu.
****
Hening terjadi didalam mobil milik Rafael, sepertinya Dinda enggan untuk membuka mulutnya, Rafael juga hanya fokus pada kegiatan menyetirnya, dan Dimas? Hhh jangan tanyakan dia, karena dia memang hanya akan bicara jika ada yang mengharuskannya bicara.
Ban mobil Rafael berdecit saat berhenti didepan rumah yang cukup mewah, mereka bertiga turun dengan perasaan yang tak dapat dijelaskan. Tangan Dimas meraih tangan Dinda. Menautkan jari-jari mereka dengan erat, hingga mereka sampai disebuah ruangan yang diselimuti rasa tegang dan kecemasan yang tergambar diwajah orang-orang yang ada disini.
“Duduk,” kata laki-laki paruh baya yang sedari tadi duduk dibangku tanpa menyambut seseorang yang baru saja datang, matanya memandang sinis ke arah Dinda dan Dimas begitu juga dengan tiga wanita dan dua pria lainnya yang juga telah duduk dibangku yang tersedia disana. Ya terlihat sekali mereka adalah sepasang suami istri yang sedang dilanda kegalauan perihal hubungan tiga remaja yang baru datang tadi.
Dinda dan Dimas tak menanggapi perkataan laki-laki paruh baya itu yang diketahui adalah ayah dari Dinda. Justru kini ayahnya bangkit dari duduknya dan mendekat kearah mereka. Suasana mencekam semakin menjadi diruang ini. Dinda bergidik ngeri melihat wajah ayahnya yang sedang marah itu.
“Kenapa kamu menyembunyikan semuanya? Kenapa kamu menjalin hubungan dengan Dimas? Seharusnya kamu tahu siapa diri kamu Dinda,” ucap sang ayah dengan nada tinggi.
“Maafin aku, Pa” Dinda lagi-lagi menjatuhkan liquid bening dari matanya yang entah berapa banyak yang telah ia keluarkan. Dimas semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Dinda, Dimas tahu saat ini Dinda sedang ketakutan.
“Kamu tahu betapa malunya papa saat mengetahui hubungan kalian. Sebenarnya apa yang kalian fikirkan? Apa yang kalian mau, hah?” ucapnya lagi.
“Aku sayang sama Dimas, Pa” entah bagaimana kata-kata itu keluar dari mulut Dinda
“Apa kamu bilang?” tanya ayahnya dan plaak.... Satu tamparan berhasil mendarat dipipi Dinda. Dinda mengerang kesakitan dan menangis. Dimas yang melihat kejadian itu langsung menarik Dinda kebelakang tubuhnya.
“Cukup, Om, kita juga gak pernah mau ini terjadi, cinta itu datang begitu aja. Dan cukup menyalahkan Dinda,” kata Dimas membela Dinda.
“Lantas apa yang kalian mau?” ketus ayah Dinda
“Kita udah memutuskan perihal hubungan kita, dan semoga ini bisa jadi yang terbaik. Aku dan Dinda udah putus, lusa aku akan pindah sekolah ke Makassar karena kalau aku disini aku takut semuanya terulang kembali yang hanya akan membuat semuanya semakin kacau. Dinda juga udah setuju soal itu,” kata Dimas beralih pandang pada Dinda.
Dinda membulatkan matanya kaget akan apa yang baru saja Dimas katakan, sebelumnya Dimas tak pernah mengatakan akan pindah sekolah. Mama Dimas tersenyum lega mendengar keputusan anaknya yang akhirnya mau dipindahkan sekolah ke Makassar setelah susah payah membujuknya.
Ayah Dinda mengangguk entah ia mengerti atau setuju dengan keputusan Dimas. Kemudian Dinda yang sejak tadi bersembunyi dibelakang Dimas kini menatap Dimas dengan tatapan tolong jelaskan semuanya padaku.
****
Tak terasa lima tahun sudah berlalu, sebuah acara pernikahan digelar cukup meriah dirumah yang cukup mewah itu, semua orang menampakkan senyum bahagianya pada acara yang berbahagia pula. Tapi entahlah aku tak dapat menjelaskan ekspresi apa yang sedang ditunjukkan oleh seorang wanita bergaun putih cantik, elegan tapi juga masih menampakan kedewasaan ditubuhnya. Hingga seseorang memeluknya dari belakang melingkarkan tangannya ditubuh ramping Dinda.
“Lagi ngapain kamu disini, Sayang” katanya manja lalu membenamkan kepalanya diceruk leher Dinda menghirup bau harum tubuhnya yang menyejukkan.
“kamu tahu kan, Raf aku gak suka keramaian,” jawabnya lesu.
“Tapi, ini acara pernikahan kita,” katanya membalikan tubuh Dinda dan menggenggam tangannya.
“Tapi, aku....”
“Sstt, aku mohon untuk kali ini aja,” kata Rafael menatap intens mata Dinda, Dinda hanya mengangguk lesu lalu berjalan menuju ruang utama.
Janji suci diucapkan keduanya, berharap hubungan mereka akan abadi sampai mereka menutup mata. Dan diberikan keselamatan untuk keluarga bahagia mereka nantinya.
Rafael mencium kening Dinda dengan lembut. Blusshh.... pipi Dinda merona merah disambut tawa oleh para tamu.
Sepasang mata menyaksikan nanar kejadian itu, memalingkan wajahnya agar tak menyinggung perasaan sang pengantin, hingga Dinda melihat sepasang mata indah itu yang telah lama tak mengisi kekosongan jiwanya. Mata yang selalu memberinya ketenangan saat menatapnya, tatapan mata yang selalu memberi jawaban atas pertanyaan rumit dikepalanya, mata yang selalu Dinda rindukan disetiap harinya, mata yang rasanya ingin Dinda raih kembali dan memilikinya. Mata itu adalah mata seorang pria bernama Dimas. Dinda merasa air matanya berontak minta dikeluarkan. Tidak tidak.... tempat dan waktu saat ini tak memperbolehkannya untuk menangis.
Akhirnya Dinda berlari ke kamarnya untuk memuaskan keinginan mata yang telah meronta-ronta sejak tadi. Dinda menangis mengeluarkan semua perasaan yang telah menggumpal didadanya. Ia meremas bantal dengan kencang melampiaskan segala kekesalannya.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu? Kenapa dia tega ninggalin aku bersama semua rasa rindu yang kian menggunung? Kenapa dia sekarang hadir lagi? Kenapa harus sekarang?”
“Maaf,” ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke kamar Dinda, mengejutkan Dinda dari aktivitas menangisnya
“Bahkan maaf mu gak cukup buat ngobatin luka dihati aku, Dim” jawab Dinda dengan mata yang masih berlinang air mata.
“Ini semua demi kebaikan kita, Din. Aku yakin kamu bisa hidup tanpa aku,” ucap Dimas lirih.
“Puas kamu, Dim? Puas? Setelah lima tahun ini kamu ninggalin aku tanpa kabar? Setelah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal ini? Membiarkan aku hampir mati berdiri buat ngelupain kamu? Apa kamu udah puas nyakitin aku? Hati aku bukan kanvas yang bisa seenaknya kamu gambar dengan luka disana sini, Dim,” air mata seakan tak ada habisnya keluar dari kelopak mata Dinda, Dimas berjalan mendekati Dinda, ingin sekali Dimas menghapus air mata Dinda. Ini semua memang karenanya, ini semua salahnya yang seenaknya pergi meninggalkan Dinda bersama semua kenangan mereka.
Akhirnya Dimas berhasil menggapai wajah Dinda dan menghapus air matanya. Ada kepuasan tersendiri di hati Dimas. Wajah yang telah lama ia tak sentuh kini akhirnya dapat ia sentuh kembali, mata yang selama ini ia rindukan akhirnya dapat ia tatap lagi, setengah jiwa yang hampir mati karena terpisah jarak kini seperti hidup kembali. Dimas menarik Dinda ke dalam pelukannya, kehangatan yang pernah hilang kini kembali hadir lagi.
“Kenapa dim? Kenapa kemu tega? Seengganya kamu bisa kasih kabar aku, kenapa kamu begitu gampang ngelupain aku”
“Kamu tahu ngelupain kamu adalah hal tersulit di hidup aku, maafin aku. Aku tahu aku salah. Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh pukul aku. Terserah kamu tapi aku mohon jangan nangis lagi” kata Dimas mengelus rambut Dinda sayang
“Jangan tinggalin aku lagi, Dim”
“Engga Din, kamu harus udah bahagia sama Rafa, aku gak mau jadi orang ketiga di antara kamu. Inget Rafa selalu ada disaat kamu butuh, dia sayang sama kamu. Belajar cintai Rafa mulai saat ini Din, karena itu adalah salah satu bentuk terimakasih aku sama dia karena dia bisa jagain orang yang aku sayang selama aku gak ada di sisi kamu” Dinda tersenyum miris mendengar itu.
Takdir, sekuat apapun kau mengubahnya jika itu sudah takdir mu tak akan seorang pun bisa mengubahnya, percayalah takdir yang telah ditentukan untuk mu adalah yang terbaik yang Tuhan berikan untukmu
**** TAMAT ****
Angin menari-nari indah diudara tapi sayang tariannya tak mampu mencairkan ketegangan ditaman belakang sebuah sekolah SMA. Tampak dua orang laki-laki dengan wajah tegang dan seorang wanita sedang menangis.
“Din, please kasih aku kepastian. Aku bisa mengerti keadaan kamu tapi bagaimana dengan orangtua kita,” kata salah seorang laki-laki yang diketahui bernama Dimas.
“Aku gak tahu, Mas, intinya aku sayang sama kamu,” kata wanita itu masih terus menangis dipelukan laki-laki bernama Dimas.
“Dinda, aku mau ngomong sama kamu sebentar,” kata laki-laki yang sejak tadi hanya terdiam sambil memberi isyarat pada Dimas, Dimas pun mengiyakan dan melepas pelukan Dinda. Mereka berjalan menjauh dari Dimas.
“Kamu sayang sama Dimas?” kata Rafael lembut tetapi masih tetap dengan cemas, “iya, ka,” jawab Dinda sesenggukan.
Pedih itulah yang dirasakan semua diantara mereka. Mungkin tak ada lagi yang dapat mereka rasakan selain ketegangan, kecemasan, kekhawatiran dan yang pasti kesedihan.
“Din kamu seharusnya sadar, kamu dan Dimas itu punya hubungan darah,” DEG! Dinda merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Cukup, Kak! Itu urusan aku dan Dimas dan ini bukan urusan kakak. Aku tahu cinta ini gak seharusnya tumbuh, tapi aku gak bisa bohongin perasaan aku,” tangis Dinda lagi-lagi pecah, lututnya seakan-akan tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya dia pun terduduk dihadapan Rafael.
“Hhh..” Rafael menarik nafas panjang berusaha membuang semua beban yang menyesakkan dada.
TEEEET TTEEET.... Diwaktu yang bersamaan bel pun berbunyi. Rafael mengulurkan tangannya mencoba membantu Dinda agar ia berdiri, “Bel istirahat usai, Din, ayo bangun dan segera masuk kelas, nanti kakak jemput kamu setelah kamu pulang, kita bicarakan ini baik-baik,” perintah Rafael. Dinda tak bergeming.
Rafael pun lagi-lagi memberi isyarat pada Dimas agar membawa Dinda kekelasnya. Dimas mengerti ia pun mendekati Dinda dan membantunya berjalan. “Dim, gue balik, jam 12, nanti gua jemput lo sama Dinda digerbang sekolah kita omongin semuanya baik-baik,” kata Rafael lalu pergi meninggalkan halaman belakang SMA Negeri ini.
Cinta.... tak tahu asalnya darimana dan entah siapayang akan dituju, tetapi ketika panah cupid telah menembus jantung parapecinta yang telah terpanah, hati pikiran dan jiwanya telah ditutupi oleh kabut cinta yang membuat mereka buta, gila, bodoh dan bahkan kematian akan bisa menjadi sahabat bagi para pecinta ketika cintanya tak dapat diraih.
Dimas masih setia membantu Dinda berjalan untuk kembali kekelasnya namun pada saat sampai dikelas, pikiran Dimas berkata lain. Dimas ingin semuanya cepat selesai ia ingin mengakhiri semuanya dengan damai.
Sesampainya dikelas Dinda, Dimas dengan segera mengambil tas Dinda. Setelah itu Dimas pun beralih ke kelasnya dan mengambil tas miliknya. Dalam keadaan itu, Dimas terus menarik Dinda agar Dinda ikut dengannya, “Dim, kita mau kemana?” kata Dinda masih terus berusaha mengimbangi langkah Dimas.
“Kita cabut.”
“Tapi, Dim, hari ini aku ulangan Fisika.”
“Ikut ulangan susulan,” Dimas masih terus berjalan tanpa memperdulikan Dinda yang terengah-engah menyeimbangi langkahnya.
Saat ini Dimas memang benar-benar diberi pilihan yang sangat sulit hingga ia sudah tak mempedulikan kelembutan untuk seorang wanita yang sangat dicinta dan mencintainya.
Akhirnya Dimas pun melajukan motornya kesebuah danau yang terlihat sepi dan jauh dari keramaian. Saatsampai, Dimas turun dari motornya lalu melangkahkan kakinya mendekati sebuah pohon rindang tepat dihadapan Danau.
“Hidup memang teka-teki selalu penuh dengan tanya dan pilihan, dimana kita yang diberi pilihan harus memilih diantaranya sebagai jawaban dari pertanyaan, tapi satu yang harus selalu diperhatikan, "Kebenaran", apakah pilihan kita benar atau bahkan sangat jauh dari kebenaran walaupun disetiap pilihan baik itu benar atau salah pasti memiliki konsekuensi,” sambil menyapu pandang danau yang begitu tenang, Dimas berkata pada Dinda yang membuat Dinda tak mengerti akan perkataan Dimas.
“Maksud kamu apa, Dim?” Dimas melirik sekilas Dinda.
“Ya, saat ini kita sedang diberi teka-teki dimana kamu dan aku harus memilih.”
“Lalu, apa isi dari pilihan itu untuk aku?”
“Yang pertama adalah menuruti ego kita lalu kau dan aku pergi merajut Cinta Terlarang kita dan membuat secercah kebahagiaan dikehidupan kita agar cinta kita dapat disatukan, yang kedua adalah mencoba memahami keadaan dan menerimanya kau akan tetap hidup bahagia dengan keluargamu dan aku pun bahagia dengan keluargaku lalu kita memilih cinta masing-masing dan melupakan cinta kita,” sekarang Dimas beralih pandang pada Dinda yang saat ini tersenyum namun sayang hanya senyum kekecewaan yang tampak dari bibir cherrynya.
“Aku tidak akan memilih keduanya,” air mata Dinda kembali jatuh dari telaga matanya.
“Kau harus memilih, Dinda. Karena pilihanmu akan menentukan nasib kita,” Dimas kini memegang kedua pipi Dinda dan mencoba menghapus air matanya, ia sekarang benar-benar tak tega melihat orang yang sangat disayanginya menderita seperti ini harus terus menerus tertekan oleh pilihan yang ada. Hanya pelukan hangat yang bisa diberikan Dimas saat ini untuk Dinda, tapi sayang kehangatan ditubuh Dimas kini tak dapat lagi menghilangkan kegundahan dihati Dinda.
“Dim, please kasih aku kesempatan untuk mencintai kamu menyayangi kamu dan membahagiakan kamu. Aku mau bahagia sama kamu, sama keluarga kita nanti,” Dinda menangis dipelukan Dimas, ini merupakan tangisan paling menyakitkan dihidup Dimas begitu menyesakkan dihatinya bahkan mungkin siapa saja yang mendengar tangisan gadis manis ini orang yang mendengar akan ikut menangis.
“Kamu gak perlu kesempatan untuk membahagiakan aku, Din, karena kamu itu kebahagiaan aku, cukup melihat kamu tersenyum itu udah lebih dari cukup buat aku. Tapi sayang keadaan berkata lain, kita dilahirkan sebagai orang yang memiliki hubungan darah dan saat ini kita sedang benar-benar menantang nasib. Apa jadinya perasaan papaku dan mama kamu kalau tahu hubungan kita? Aku yakin mereka akan sangat-sangat kecewa kalau tahu hubungan ini, dan penderitaan sedang menunggu kita, jika kita tak mengakhiri hubungan ini,” air mata Dinda kini semakin deras membasahi baju Dimas. Angin danau kini ikut menemani mereka, berhembus menerpa anak-anak rambut.
“Aku berharap kamu akan memilih pilihan yang kedua, bukan karena aku tak ingin bersamamu tapi inilah hidup, dan inilah kenyataannya sekuat apapun kau berlari untuk menghindarinya kau akan tetap bertemu pada kenyataan, ingat, Din, kenyataan itu bukan mimpi yang bisa sesuka hati kita rangkai agar menjadi apa yang kita inginkan,” Dinda tercekat mendengar penuturan Dimas, kini dadanya seperti ditiban batu yang beratnya mencapai puluhan ton. Sesak.
“Dim, please. Aku sayang sama kamu,” suaranya bergetar menahan tangis yang sudah pecah itu.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dimas, hanya pelukan hangat yang bisa diberikan pada Dinda berharap menularkan energi positifnya pada Dinda.
“Apa yang harus aku lakukan, Dim?” tanya Dinda menatap mata Dimas yang telah menampakkan gurat kelelahan diwajahnya.
“Akhiri hubungan kita,” ucap Dimas singkat dan tegas.
DEG.... lagi-lagi Dinda merasakan jantungnya yang tiba-tiba seakan berhenti berdetak, ia menggigit bibir bawahnya untuk melampiaskan segala kemarahannya hari ini.
“Kamu tega ninggalin aku?” sebuah kalimat terlontar dari mulut Dinda yang membuat Dimas tergelak. Dimas mencoba menetralisir keadaan yang mulai memanas.
“Kamu percaya sama aku?” tanya Dimas yang dijawab anggukan oleh Dinda.
“Jika kamu percaya seharusnya kamu juga yakin, pilihan aku adalah pilihan yang terbaik.”
Dinda kembali menangis menelungkupkan kedua tangannya diwajahnya, menahan setiap kekecewaan yang hadir disetiap perkataan Dimas yang menyesakkan dada. Dimas meraih tangan Dinda dan menghapus air mata Dinda.
“Udah.... cukup, Din, jangan nangis lagi, denger kamu nangis tuh sama aja kamu nyakitin perasaan aku,” kata Dimas membingkai wajah Dinda.
“Aku gak mau pisah sama kamu,” lirih Dinda.
“Jangan memaksakan ego kamu, Din, udah seharusnya kamu mikirin keadaan dan orang-orang disekeliling kamu,” Ucap Dimas bijak.
“Kamu mau janji, jangan pernah hapus aku dari memori kamu?”
Dimas tersenyum mendengar ucapan Dinda, “Gak akan pernah,” kata Dimas mantap dan segera menarik Dinda dalam pelukannya.
Entah apa yang saat ini harus mereka rasakan. Haruskah mereka bersedih karena perpisahan mereka? Atau haruskah mereka bahagia karena berhasil menemukan titik terang? Hanya diri mereka yang dapat menjawab itu.
****
Hening terjadi didalam mobil milik Rafael, sepertinya Dinda enggan untuk membuka mulutnya, Rafael juga hanya fokus pada kegiatan menyetirnya, dan Dimas? Hhh jangan tanyakan dia, karena dia memang hanya akan bicara jika ada yang mengharuskannya bicara.
Ban mobil Rafael berdecit saat berhenti didepan rumah yang cukup mewah, mereka bertiga turun dengan perasaan yang tak dapat dijelaskan. Tangan Dimas meraih tangan Dinda. Menautkan jari-jari mereka dengan erat, hingga mereka sampai disebuah ruangan yang diselimuti rasa tegang dan kecemasan yang tergambar diwajah orang-orang yang ada disini.
“Duduk,” kata laki-laki paruh baya yang sedari tadi duduk dibangku tanpa menyambut seseorang yang baru saja datang, matanya memandang sinis ke arah Dinda dan Dimas begitu juga dengan tiga wanita dan dua pria lainnya yang juga telah duduk dibangku yang tersedia disana. Ya terlihat sekali mereka adalah sepasang suami istri yang sedang dilanda kegalauan perihal hubungan tiga remaja yang baru datang tadi.
Dinda dan Dimas tak menanggapi perkataan laki-laki paruh baya itu yang diketahui adalah ayah dari Dinda. Justru kini ayahnya bangkit dari duduknya dan mendekat kearah mereka. Suasana mencekam semakin menjadi diruang ini. Dinda bergidik ngeri melihat wajah ayahnya yang sedang marah itu.
“Kenapa kamu menyembunyikan semuanya? Kenapa kamu menjalin hubungan dengan Dimas? Seharusnya kamu tahu siapa diri kamu Dinda,” ucap sang ayah dengan nada tinggi.
“Maafin aku, Pa” Dinda lagi-lagi menjatuhkan liquid bening dari matanya yang entah berapa banyak yang telah ia keluarkan. Dimas semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Dinda, Dimas tahu saat ini Dinda sedang ketakutan.
“Kamu tahu betapa malunya papa saat mengetahui hubungan kalian. Sebenarnya apa yang kalian fikirkan? Apa yang kalian mau, hah?” ucapnya lagi.
“Aku sayang sama Dimas, Pa” entah bagaimana kata-kata itu keluar dari mulut Dinda
“Apa kamu bilang?” tanya ayahnya dan plaak.... Satu tamparan berhasil mendarat dipipi Dinda. Dinda mengerang kesakitan dan menangis. Dimas yang melihat kejadian itu langsung menarik Dinda kebelakang tubuhnya.
“Cukup, Om, kita juga gak pernah mau ini terjadi, cinta itu datang begitu aja. Dan cukup menyalahkan Dinda,” kata Dimas membela Dinda.
“Lantas apa yang kalian mau?” ketus ayah Dinda
“Kita udah memutuskan perihal hubungan kita, dan semoga ini bisa jadi yang terbaik. Aku dan Dinda udah putus, lusa aku akan pindah sekolah ke Makassar karena kalau aku disini aku takut semuanya terulang kembali yang hanya akan membuat semuanya semakin kacau. Dinda juga udah setuju soal itu,” kata Dimas beralih pandang pada Dinda.
Dinda membulatkan matanya kaget akan apa yang baru saja Dimas katakan, sebelumnya Dimas tak pernah mengatakan akan pindah sekolah. Mama Dimas tersenyum lega mendengar keputusan anaknya yang akhirnya mau dipindahkan sekolah ke Makassar setelah susah payah membujuknya.
Ayah Dinda mengangguk entah ia mengerti atau setuju dengan keputusan Dimas. Kemudian Dinda yang sejak tadi bersembunyi dibelakang Dimas kini menatap Dimas dengan tatapan tolong jelaskan semuanya padaku.
****
Tak terasa lima tahun sudah berlalu, sebuah acara pernikahan digelar cukup meriah dirumah yang cukup mewah itu, semua orang menampakkan senyum bahagianya pada acara yang berbahagia pula. Tapi entahlah aku tak dapat menjelaskan ekspresi apa yang sedang ditunjukkan oleh seorang wanita bergaun putih cantik, elegan tapi juga masih menampakan kedewasaan ditubuhnya. Hingga seseorang memeluknya dari belakang melingkarkan tangannya ditubuh ramping Dinda.
“Lagi ngapain kamu disini, Sayang” katanya manja lalu membenamkan kepalanya diceruk leher Dinda menghirup bau harum tubuhnya yang menyejukkan.
“kamu tahu kan, Raf aku gak suka keramaian,” jawabnya lesu.
“Tapi, ini acara pernikahan kita,” katanya membalikan tubuh Dinda dan menggenggam tangannya.
“Tapi, aku....”
“Sstt, aku mohon untuk kali ini aja,” kata Rafael menatap intens mata Dinda, Dinda hanya mengangguk lesu lalu berjalan menuju ruang utama.
Janji suci diucapkan keduanya, berharap hubungan mereka akan abadi sampai mereka menutup mata. Dan diberikan keselamatan untuk keluarga bahagia mereka nantinya.
Rafael mencium kening Dinda dengan lembut. Blusshh.... pipi Dinda merona merah disambut tawa oleh para tamu.
Sepasang mata menyaksikan nanar kejadian itu, memalingkan wajahnya agar tak menyinggung perasaan sang pengantin, hingga Dinda melihat sepasang mata indah itu yang telah lama tak mengisi kekosongan jiwanya. Mata yang selalu memberinya ketenangan saat menatapnya, tatapan mata yang selalu memberi jawaban atas pertanyaan rumit dikepalanya, mata yang selalu Dinda rindukan disetiap harinya, mata yang rasanya ingin Dinda raih kembali dan memilikinya. Mata itu adalah mata seorang pria bernama Dimas. Dinda merasa air matanya berontak minta dikeluarkan. Tidak tidak.... tempat dan waktu saat ini tak memperbolehkannya untuk menangis.
Akhirnya Dinda berlari ke kamarnya untuk memuaskan keinginan mata yang telah meronta-ronta sejak tadi. Dinda menangis mengeluarkan semua perasaan yang telah menggumpal didadanya. Ia meremas bantal dengan kencang melampiaskan segala kekesalannya.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu? Kenapa dia tega ninggalin aku bersama semua rasa rindu yang kian menggunung? Kenapa dia sekarang hadir lagi? Kenapa harus sekarang?”
“Maaf,” ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke kamar Dinda, mengejutkan Dinda dari aktivitas menangisnya
“Bahkan maaf mu gak cukup buat ngobatin luka dihati aku, Dim” jawab Dinda dengan mata yang masih berlinang air mata.
“Ini semua demi kebaikan kita, Din. Aku yakin kamu bisa hidup tanpa aku,” ucap Dimas lirih.
“Puas kamu, Dim? Puas? Setelah lima tahun ini kamu ninggalin aku tanpa kabar? Setelah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal ini? Membiarkan aku hampir mati berdiri buat ngelupain kamu? Apa kamu udah puas nyakitin aku? Hati aku bukan kanvas yang bisa seenaknya kamu gambar dengan luka disana sini, Dim,” air mata seakan tak ada habisnya keluar dari kelopak mata Dinda, Dimas berjalan mendekati Dinda, ingin sekali Dimas menghapus air mata Dinda. Ini semua memang karenanya, ini semua salahnya yang seenaknya pergi meninggalkan Dinda bersama semua kenangan mereka.
Akhirnya Dimas berhasil menggapai wajah Dinda dan menghapus air matanya. Ada kepuasan tersendiri di hati Dimas. Wajah yang telah lama ia tak sentuh kini akhirnya dapat ia sentuh kembali, mata yang selama ini ia rindukan akhirnya dapat ia tatap lagi, setengah jiwa yang hampir mati karena terpisah jarak kini seperti hidup kembali. Dimas menarik Dinda ke dalam pelukannya, kehangatan yang pernah hilang kini kembali hadir lagi.
“Kenapa dim? Kenapa kemu tega? Seengganya kamu bisa kasih kabar aku, kenapa kamu begitu gampang ngelupain aku”
“Kamu tahu ngelupain kamu adalah hal tersulit di hidup aku, maafin aku. Aku tahu aku salah. Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh pukul aku. Terserah kamu tapi aku mohon jangan nangis lagi” kata Dimas mengelus rambut Dinda sayang
“Jangan tinggalin aku lagi, Dim”
“Engga Din, kamu harus udah bahagia sama Rafa, aku gak mau jadi orang ketiga di antara kamu. Inget Rafa selalu ada disaat kamu butuh, dia sayang sama kamu. Belajar cintai Rafa mulai saat ini Din, karena itu adalah salah satu bentuk terimakasih aku sama dia karena dia bisa jagain orang yang aku sayang selama aku gak ada di sisi kamu” Dinda tersenyum miris mendengar itu.
Takdir, sekuat apapun kau mengubahnya jika itu sudah takdir mu tak akan seorang pun bisa mengubahnya, percayalah takdir yang telah ditentukan untuk mu adalah yang terbaik yang Tuhan berikan untukmu
**** TAMAT ****
Karangan:
Echa Prahmana Reza
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/cinta-terlarang-3.html
0 komentar:
Posting Komentar